Bab 27

1.8K 268 26
                                    


Tanpa sempat istirahat di rumah Ranto, mereka bergegas meneruskan perjalanan ke Madu Ampil. Mobil ditinggalkan begitu saja di halaman rumah. Ranto sepertinya hanya mengabarkan apa yang terjadi pada istrinya, sebelum mereka keluar lagi menembus hutan.

Suara ayam hutan terdengar dari balik rimbunan pinus, sementara mereka berjalan dengan langkah cepat.

Sejak keluar dari gerbang Panjalu, tak ada yang bersuara. Mereka berjalan dan bergerak seperti tanpa  berpikir. Hingga satu saat, Cokro yang berjalan di nomor dua dari depan berhenti, seakan menunggu Bania di belakangnya.

Bania -yang tahu ditunggu- mempercepat langkah. Dia hanya menaikkan alis, bertanya dalam diam.

"Anjas--" desis Cokro ragu. Tatapannya mengarah pada Anjas yang sudah melesat mendahului sambip menenteng kotak berisi wayang.

"Ikuti dia." Bania dan Cokro refleks menatap Ranto yang berjalan paling belakang sudah tiba di dekat mereka.

"Dia tahu jalan tercepat menuju Madu Ampil," tambah Ranto yang kemudian melewati keduanya.

"Bagaimana--" Cokro masih penasaran.

"Percayalah. Mas Anjas yang sekarang sudah berbeda dengan yang kemarin sampeyan kenal." Ranto setengah berlari menyusul Anjas. Mau tidak mau, Bania dan Cokro bergegas mengikuti.

Cokro menghitung dalam hati. Tak ada seratus hitungan setelah mereka masuk hutan pinus, saat dia mendengar ada suara-suara percakapan di depan. Suara itu seperti obrolan beberapa orang meaki tak bisa tertangkap apa yang mereka bicarakan. Bulu kuduknya meremang tanpa tahu penyebabnya. Cokro berlari kecil saat melihat Anjas berlari kecil.

Langkahnya terhenti ketika entah bagaimana, dia sudah berada di tengah dusun Madu Ampil. Senyap melingkup tempat itu. Sinar matahari belum sepenuhnya bisa menerobos celah dedaunan, menyisakan percik embun yang masih melekat di dedaunan. Kabut menggantung, membatasi jarak pandang mereka hingga beberapa meter saja. Langkahnya dipercepat saat Anjas sudah berada beberapa puluh meter di depannya, hampir mencapai rumah Mbah Martoyo.

Cokro sedikit menoleh saat suara debam langkah Ranto berlari melewatinya. Menyusul kemudian Bania yang terengah menyamai langkahnya.

"Benar-benar belum ada yang tahu," desis Bania sambil mengatur napas. Uap tipis menghambur dari mulut dan hidung saat pemuda itu bernapas.

Madu Ampil memang terlihat sangat senyap. Belum ada tanda kehidupan yang memperlihatkan desa itu berpenghuni.

Cokro tak memberi kesempatan Bania menarik napas lebih lama. Dia memberi kode untuk mempercepat langkah ketika melihat Anjas sudah berdiri di teras rumah Mbah Martoyo.

Ketukan Anjas di pintu terdengar tergesa. Sepi. Lagi. Anjas mengetuk lebih keras, sementara Bania dan Cokro sudah di dekatnya. Ranto yang tadi mencoba lewat pintu belakang juga akhirnya kembali berkumpul di depan.

Anjas mengeraskan lagi ketukan di pintu. Dia baru berhenti saat terdengar satu langkah pelan yang diseret. Beberapa saat kemudian menyusul suara anak kunci yang diputar.

Wajah istri Mbah Martoyo yang sepertinya baru bangun muncul dari balik pintu. Dia terlihat terkejut melihat rombongan Anjas.

"Jabang bayi! Sudah siang ternyata!" pekiknya panik.

Ranto paham, yang dia ingat dalam seumur hidup, ibunya tak pernah sekali pun bangun siang. Dia selalu bangun jauh sebelum fajar tiba.

"Aku turu koyok wong mati!" sambung wanita sepuh itu sambil mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan telunjuk menyatakan penyesalannya

"Bu, bapak--" Ranto tak sanggup meneruskan kalimat itu. Dia yakin sang ibu bahkan belum tahu apa yang menimpa suaminya.

Ranto memilih menghambur masuk. Dia tidak menuju kamar tidur Mbah Martoyo, tapi mendekati satu ruangan yang pintunya hanya ditutup memakai tirai kain hijau tua.

Anjas mengikuti tepat di belakang Ranto. Pemuda itu sudah siap dengan apa yang akan dia lihat saat Ranto menyibak tirai. Namun tak hanya Anjas, Ranto bahkan terlengak kaget mendapati bahwa apa yang mereka bayangkan tak sesuai.

Bayangan Anjas, dia akan bertamu sosok Mbah Martoyo yang terbujur tanpa nyawa. Sepertinya, itu juga yang ada dalam otak Ranto. Sesaat mereka saling tatap, sampai Bania dan Cokro mengiringi Bu Martoyo mendekat.

Mereka masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, saat Bu Martoyo dengan wajah memelas, menjatuhkan diri bersimpuh. Air matanya turun tanpa suara. Tatapannya mengarah pada baju yang -sepertinya milik Mbah Martoyo- terlipat rapi di samping pedupaan kecil.

Anjas baru sempat menatap sekeliling. Ruangan itu seperti tempat semadi. Ada dua tombak kecil tanpa selubung, yang seakan tertancap di atas meja kayu. Beberapa lambang kesultanan Surakarta ada di sana. Tepat berhadapan dengan meja kecil yang tertancap tombak itu, ada pedupaan kecil dengan remahan kemenyan, dupa, dan taburan bunga beberapa rupa. Di sebelah pedupaan itulah terlipat satu setel baju yang saat ini berada dalam pelukan Bu Martoyo.

Wanita sepuh itu meremas baju di pelukannya. Aroma kesedihan mengembus kuat di dalam ruangan itu. Air mata mengalir di pipi rentanya, meski tanpa suara.

Anjas mendekat dan duduk di hadapan Bu Martoyo. Tangan Anjas menepuk-neouk lutut wanita sepuh itu untuk memguatkan.

Ranto trenyuh. Dia mendekat dan duduk di samping Bu Martoyo. Tangan kekar lelaki itu melingkari bahu ibunya dan menariknya ke pelukan.

Bania dan Cokro mendekat tanpa suara, lalu ikut duduk. Mereka menatap Anjas dengan pandangan menuntut jawaban.

"Ada yang bisa njelasin, sebenernya apa yang terjadi?" tanya Cokro hati-hati.

"Simbah sudah ndak ada," jawab Bu Martoyo lebih mirip rintihan. "Bapakmu, Le--"

Suara itu tertelan eratnya pelukan Ranto.

"T-tapi--" desis Cokro ragu.

Jelas dia ragu. Peritiwa itu baru terjadi semalam. Pagi ini, Dukuh Madu Anpil bahkan belum terbangun saat mereka datang.

"A-apa Simbah sudah dimakamkan?" kejar Cokro.

"Tak akan ada pemakaman, Mas Cokro," jawab Ranto lirih.

Semakin dalam kerutan di kening Cokro. Beberapa kali dia menatap Ranto dan Anjas bergantian.

"Simbah menunjukkan eksistensi terbesarnya dalam semesta," sambung Anjas.

Cokro menatapnya lekat.

"Simbah moksa." lanjut Anjas.

Cokro berpaling menatap Bania, seakan mempertegas apa yang dikatakan Anjas. Selama beberapa waktu hanya senyap melingkup ruangan itu. Mereka memberi kesempatan Bu Martoyo untuk berduka sebelum mereka berpindah ke ruang dalam.

🍓🍓🍓

Hai ... hai ....
Mohon maaf, beribu maaf, 2 pekan kemarin saya absen.
Kesibukan luar biasa mendera, karena 'awal masuk sesungguhnya' sedang terjadi setlah kemarin banyak BDR dan beberapa hal yang harus aku selesaikan bersamaan.

Sekali lagi mohon maaf ...

Satu part ini memang terpendek di antara part lain di perjalanan Wayang Jimat, setelah mengalami balada hilang separo sampai 2 kali 🙈
Artinya, aku sudah nulis panjaaaaang eeh, tetiba raib tinggal berapa ratus.
Lha kok kejadian lagi tadi sebelum post, kayaknya ga sengaja terpencet hapus. Jadi terpaksa harus mengulang karena di write ples, aplikasi undo hanya terbatas sampai berapa kesalahan saja 😓

Semoga ke depan sudah kembali lancar seperti biasa.

Tetep jaga kesehatan ya, teman2 ...

Peluk kangen,
Suzie Rain.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang