Bab 12
Cokro hanya menatap ke arah pintu saat Anjas dan Bania beriringan membuka. Dua langkah lagi transaksi yang dia lakukan selesai, lalu tinggal menunggu tiket dikirimkan lewat email.
Saat pintu terbuka lebar, satu sosok abdi di rumah besar itu berdiri. Bahasa tubuhnya seakan dia baru saja dimarahi oleh sang majikan. Anjas dan Bania hanya saling tatap tanpa berani bertanya.
"Maaf ... kalau mas-mas semua sudah siap, ditunggu Bapak di pendopo." Lelaki itu kembali menunduk setelah menyelesaikan ucapannya.
Anjas, Bania dan Cokro terdiam, hanya saling melempar kode lewat mata. Mereka memang sudah berniat pamit tadi, tapi kalimat abdi itu lebih terdengar seperti mengusir.
"Kami segera ke sana, Pak. Terima kasih," ucap Anjas mengangguk sopan.
Abdi itu berbalik badan dan pergi tanpa pamit.
"Perasaan gue nggak enak," bisik Bania masih di depan pintu yang terbuka.
"Ban, kamu tadi mau tidur baca doa nggak sih? Bangun-bangun jadi sensi gitu," sungut Cokro yang ternyata mendengar.
"Ban--"
"Sesuatu sedang terjadi. Lo rasain pake hati!" Bania memotong kalimat Anjas.
Cowok itu meninggalkan Anjas yang mematung, masih memegangi daun pintu. Dia ikat rambutnya yang menyentuh bahu sebelum mengangkat tas punggung dan menyambar tas selempang kecilnya
"Kita sudah ditunggu. Cabut," ajaknya tanpa basa basi.
Anjas dan Cokro saling tatap sebelum masing-masing menyambar tas dan mengikuti cowok gondrong itu.
Tak sampai lima menit mereka menunggu, dari rumah induk keluar Ki Sumarno yang mengenakan celana gombrong hitam. Baju lurik yang tak dikancing, memperlihatkan kaos oblong putih tipis membungkus tubuh tegap lelaki setengah baya itu.
Ki Sumarno menemui mereka sendirian. Tak terlihat cantrik yang julidnya melebihi tuan rumah itu. Biasanya si cantrik itu mengekor ke mana pun Ki Sumarno pergi. Bahkan kemarin Cokro sempat berkelakar, kalau mungkin cantriknya itu juga ikut saat Ki Sumarno ke kamar mandi.
Senyum dalang kondang itu mengembang tipis saat menatap mereka. Namun Anjas dan Cokro bisa menangkap kegelisahan yang disembunyikan senyum itu.
"Kami mohon maaf kalau selama di sini banyak merepotkan. Hari ini kami akan langsung kembali ke Jakarta, Ki." Cokro berpamitam sambil sedikit membungkuk.
Tangannya yang memeluk buku-buku pinjaman diulurkan ke arah Ki Sumarno.
Lelaki itu menerima, lalu meletakkannya di lantai. Embusan napas kerasnya terdengar gusar.
"Pasti karena memburu wayang itu," tuduhnya tanpa basa basi.
Mereka bertiga saling tatap.
"Wayang itu bahan utama skripsi kami, Ki. Kami hanya ingin melihatnya. Tidak lebih." Cokro menjawab sebelum Bania yang terlihat kesal mendahului. "Bahan-bahan yang kami dapat dari panjenengan sudah cukup. Kami bisa menambahkan nanti dari koleksi perpustakaan," lanjut Cokro yang terdengar tulus.
Ki Sumarno menghela napas lagi. Entah untuk yang ke berapa kali helaan itu terdengar risau, membuat tiga sahabat itu ikut merasa tak nyaman.
"Aku rasa kalian pemuda-pemuda yang baik. Berangkatlah." Mata Ki Sumarno mengerjap cepat. Satu tangannya kemudian merogoh saku baju lurik dan mengeluarkan sepotong kartu. "Ada nomor telepon saya di situ. Tolong, kabari saya kalau ada apa-apa."
Anjas yang paling dekat posisinya, menerima dengan dua tangan seolah itu benda keramat. Kalimat terakhir lelaki itu terasa mengusik. Kenapa dia harus mengabari kalau terjadi apa-apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...