Anjas melirik jam di dashboard.Dua sahabatnya memberi kabar kalau mereka sudah nongkrong manis di kantin. Seharusnya Anjas juga sudah sampai seandainya tadi tidak mampir ke satu tempat.
Beberapa kali terdengar notifikasi pesan WhatsApp di ponselnya. Alih-alih membuka, Anjas justru menginjak pedal gas lebih dalam. Jalanan masuk ke kampus tak semacet jalan raya, jadi setidaknya Cokro dan Bania tak akan menunggu lama.
Cowok itu langsung menuju area kantin yang terletak di kanan belakang fakultas FIB. Lahan parkir yang cukup luas membantunya parkir dengan cepat. Lalu dengan setengah berlari dia menuju dua temannya yang sudah melambai.
Hanya ada beberapa meja yang terisi, karena masih di jam kuliah. Mahasiswa tingkat akhir sudah banyak yang berangkat untuk penelitian, menyisakan jadwal kuliah reguler yang jamnya berbeda.
Anjas mengempaskan tas punggung yang tidak terlalu berat ke kursi sebelah, sebelum dia duduk di kursi lain yang masih kosong. Tanpa basa basi dia menyambar lemon tea hangat di depan Bania, tanpa perlawanan. Pemilik minuman itu lebih merelakan lemon tea itu demi segera mendengar berita yang dibawa Anjas.
"Kamu tu tak liat bawa mobil, tapi lemon tea segelas langsung tandas. Ndorong?" Cokro menaikkan alisnya saat gelas Bania benar-benar diletakkan dalam kondisi kosong.
"Gue kan setengah lari tadi, dari parkiran." Anjas terkekeh.
"Bikin janji nyuruh jangan telat, eh molor sendiri." Bania menggerutu.
"Maaf." Anjas mengangkup kedua telapaknya di depan dada. "Gue mampir ke satu tempat buat nyiapin keberangkatan kita."
"Kita?" Cokro menatap lekat. "Emang kita mau ke mana?"
"Berburu wayang jimat!" Anjas menaikkan alis sambil tersenyum.
"Cah edan!" Cokro mencebik. "Jadwal kita nanti siang masih ke perpus pusat. Nyari lokasi pasnya."
"Informasi itu ternyata nggak jauh. Di dalam rumah gue sendiri." Anjas mendekatkan wajah. "Nyokap gue tahu di mana wayang itu disimpan."
"Apa?!" Cokro dan Bania serempak ikut mendekat."Nyokap lo kapan balik? Sama bokap juga?" Bania memberondong.
"Kapan nyokap gue bisa pergi tanpa bokap, Ban. Lo kayak nggak ngerti mereka aja." Anjas terkekeh.
Sejak Anjas dan Tata beranjak dewasa, orang tua mereka memang semakin tak terpisahkan. Ke mana pun Abimana pergi, dia lebih suka mengajak Farah. Demikian juga sebaliknya.
"Ada oleh-oleh buat calon mantu yang menggemaskan ini?" Cokro menyela yang segera mendapat toyoran bercanda Anjas di pelipis.
"Hmmm, terima kasih, Calon Kakak Ipar yang menyebalkan." Cokro mundur sambil mencibir.
Anjas tertawa. "Jadi sultan dulu sana di Jogja."
"Sudah! Buruan cerita. Apa yang lo dapat." Bania menengahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...