Satu teko besar berisi teh panas dengan cangkir-cangkir berisi gula batu menemani pagi mereka di ruang tamu Mbah Martoyo. Sesisir pisang raja matang pohon, disajikan begitu saja dengan alas piring anyaman.
Bania dan Cokro sudah memindahkan masing-masing dua cangkir teh, dan separuh sisir pisang ke dalam perut. Mereka duduk tanpa merasa bisa melakukan apa pun untuk membantu.
Bu Martoyo duduk menyandar dengan tatapan nanar, sementara baju Mbah Martoyo di pelukan. Sesekali air matanya mengalir saat mengerjap, tanpa berusaha dia hapus. Air mata itu dibiarkan kering sendiri di pipinya yang tirus mengeriput.
Ranto dan Anjas berdiskusi dengan suara lirih. Entah apa yang mereka rencanakan, karena Bania dan Cokro sama sekali tak bisa mengimbangi kalimat-kalimat kedua orang itu.
Dua pemuda itu kembali duduk tegak ketika melihat Ranto menyudahi percakapannya dengan Anjas.
"Bu--" Ujung jemari Ranto menyentuh punggung tangan ibunya. Dari tatapannya, terlihat dia sedang berusaha menegarkan diri. "Sabar ...," bisiknya nyaris tak terdengar.
Sambil mengangguk, bibir Bu Martoyo membentuk lengkung yang dipaksakan. Tepukan Ranto di punggung tangan keriputnya, seperti memberi satu kekuatan untuk tetap bertahan.
"Kita akan mengembalikan wayang ini ke gua tempatnya bersemayam, dan menyempurnakan perjalanan Manika. Kita sudahi penderitaan gadis itu." Ranto bergantian menatap Bania dan Cokro.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Bania lirih. Keraguannya lebih pada apa yang bisa dia lakukan untuk membantu. Sementara dari awal, dia merasa hanya bisa membantu tenaga menjadi sopir.
Ranto menggeleng pelan. "Mau saya begitu, Mas. Tapi ndak bisa. Kita hanya bisa melakukannya setelah tengah hari terlewati."
"Kenapa?" desak Cokro penasaran.
"Perhitungan wuku. Semua kegiatan yang berhubungan dengan alam sebelah, lebih punya power kalau dilakukan di hari pasaran Wage. Apalagi nanti malam bulan purnama." Anjas membantu menjawab.
"Tapi, ini hari--"
"Terakhir," potong Ranto saat Bania mencoba mengingatkan. "Ini hari terakhir. Saya ingat, Mas. Saya ingat. Maka itu kita ndak boleh gegabah. Kita menunggu sambil menyiapkan ubo rampenya. Bener kata Mas Anjas, kita akan menunggu hitungan hari berpindah."
"Kita masih harus turun lagi ke kaki gunung untuk mencari ... apa itu tadi?" Cokro menyela.
"Ubo rampe. Perlengkapan. Tidak. Semua ada di sini. Kita tinggal mengambilnya. Daun pandan, daun kelor, kunir babon, dupa ... semua ada. Sirih ketemu ruas yang dibawa Mas Anjas juga sudah ada. Kalian bisa istirahat sebentar sebelum kita melewati hari yang lebih panjang."
"Saya tidak--"
"Jangan membantah," potong Ranto saat Anjas hendak menolak. "Sampeyan menjadi kunci. Himpun tenaga selagi bisa, karena kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi nanti. Kita semua harus mempersiapkan diri, apa pun yang mungkin bisa terjadi."
Ranto menatap tiga tamu yang beberapa hari ini menjadi teman seperjalanannya. "Saya juga perlu bicara dengan Ibu," bisiknya lirih, seakan tak ingin terdengar ibunya yang terlihat masih terpukul.
Tanpa banyak tanya, tiga sahabat itu paham apa yang diinginkan tuan rumah. Mereka bangkit, lalu mengambil tikar pandan yang masih terlipat, dan menggelarnya di sisi lain ruangan itu.
Anjas baru menyadari, betapa lelah tubuhnya. Tak menunggu menit berlalu, begitu kepalanya menyentuh bantal yang disediakan, kesadarannya menurun drastis. Dia tak sempat lagi memeriksa isi tas apalagi peti yang dia bawa. Di sebelahnya, Bania dan Cokro juga terkapar, menyerah pada lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...