Epilog
"Mas Anjas Wirashangga, yakin Anda tidak mengenalnya?"
Seseorang dengan seragam polisi menanyakan hal yang sama untuk ketiga kali. Untuk ke sekian kali pula Anjas menatap lelaki yang duduk di kursi sebelahnya. Entah apa yang membuat polisi itu mengira dia mengenal lelaki itu.
Anjas memindai dengan lebih jeli. Kulit lelaki di sebelahnya yang coklat membungkus tubuh liat penuh otot. Wajah itu keras dan tegas tapi terlihat bersahabat. Anjas berpikir lebih keras. Dia kaget ketika orang itu berpaling menatapnya lekat. Dia mengangguk saat orang itu menyapa dulu dengan anggukan sebelum kembali mengarahkan tatap ke polisi di depannya.
Pria berseragam lengkap itu menatap dua lelaki di depannya dengan penuh selidik. Namun dia tak melihat ada kebohongan tertangkap.
"Bapak Ranto Darsono, kenal pemuda ini?" Polisi itu menancapkan tatapan pada lelaki berkulit cokelat.
Lelaki itu kembali menatap Anjas. Keduanya saling tatap tanpa kata.
"Sebenernya ada apa sih, Pak?" tanya lelaki itu dengan logat khas Jawa.
"Kenapa Bapak mengira saya mengenal bapak ini?" Anjas menyusul bertanya.
"Tiga hari lalu kalian ditemukan pingsan di pantai dengan pakaian compang camping dan tangan menggenggam kuat. Bahkan kemarin dokter berusaha keras saat harus melepaskan kalian." Polisi itu menghela napas. "Siapa menolong siapa?"
Kedua lelaki di depan polisi mengerenyit.
"Ayolah, setidaknya salah satu dari kalian bisa memberi saya satu cerita logis, apa yang terjadi sebelumnya!" Suaranya mulai terdengar tidak sabar.
Polisi itu meletakkan pulpen di tangan dengan kesal.
"Kalian jangan mempersulit saya." Badannya condong ke depan, seakan mengancam.
"Saya bahkan nggak ngerti kenapa bisa sampai di pantai. Saya cuma mau memberi hormat eyang saya untuk terakhir kali. Itu pun di Solo." Anjas menjawab tegas.
"Apalagi saya, Pak. Saya sedang berkabung karena bapak saya meninggal. Lalu entah bagaimana saya bisa bangun di rumah sakit." Ranto menimpali.
Terdengar empasan napas gusar sebelum punggung polisi itu tenggelam di sandaran kursi. Dia menarik laci meja, mengeluarkan dua dompet dari dalamnya dan menaruh di depan Ranto dan Anjas.
"Nama dan alamat kalian sudah saya catat. Kalau kalian terbukti menyembunyikan fakta sesuatu ...." Suara polisi itu menggantung. "Ah, sudahlah. Kalian bisa pergi." Lagi-lagi dia membuang napas kesal.
Tanpa membuang waktu, Anjas dan Ranto mengambil dompet masing-masing.
"Saya permisi, Pak," pamit Ranto mengangguk takzim.
"Saya juga, Pak." Anjas menyusul cepat.
Mereka berjalan beriringan keluar dari kantor polisi dalam jarak dua meter. Setelah melewati gerbang, mereka berbelok ke kiri menuju halte Trans Jogja.
Pagi menjelang siang itu, jalanan terasa lebih lengang. Hanya dua remaja berseragam SMU yang berdiri menunggu bis.
Ranto yang sampai terlebih dulu, mengambil duduk di ujung. Sementara Anjas memilih berdiri menyandar.
"Maaf, Dek, sekarang hari apa?" tanya Ranto pada dua pemuda berseragam.
Mereka menatap Ranto dengan kening berkerut.
"Kamis, Pak," jawab salah satunya.
"Apa Jogja baik-baik saja?" tanya Ranto lagi. "Mmh, tidak ada bencana, gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...