Anjas, Bania dan Cokro menempati satu kamar di rumah induk yang sepertinya memang khusus digunakan oleh tamu-tamu Ki Sumarno. Kamar seluas lima meter persegi itu memuat dua tempat tidur besar dari kayu yang terlihat berkelas.
Satu sisi kamar yang langsung tersambung dengan taman samping, pintunya terbuka lebar. Geng ABC terlihat duduk di teras menghadap rerumputan hijau yang diteduhi pohon sikas dan palem besar. Matahari sudah beranjak turun, langit biru bersih menemani mereka menghabiskan sore. Sebentar lagi pasti semburat tembaga menggantikan biru itu, mengantar pergantian waktu.
"Gue nggak enak sama Pak Ranto. Tatapannya saat pamit tadi ... sepertinya beliau belum puas." Anjas meletakkan gelas teh yang masih mengepulkan asap. Diambilnya satu lumpia gemuk dari piring.
"Gue juga ngerasa gitu. Dia sengaja mengantar karena pengin tahu, apa yang akan kita perbincangkan tentang Wayang Jimat dengan Ki Dalang, tapi sepertinya Ki Dalang mengulur waktu--"
"Ban, ndak boleh berprasangka," potong Cokro. "Sepertinya beliau memang sibuk. Setelah siang tadi, Ki Dalang kembali menghilang, entah ke mana. Satu yang membuatku merasa diterima ya itu ... kita dijamu habis-habisan, seakan kita ini tamu agung."
"Tapi dicuekin." Bania masih protes.
"Kita ada janji ketemu nanti jam setengah delapan malam. Kita disediain makan siang, cemilan sore, teh panas sambil menikmati taman sampingnya yang adem kek gini. Udahlah, Ban, nikmati dulu." Cokro mengabaikan kegusaran Bania.
"Gue cuma ngeri sama pesuruh Ki Dalang tadi. Tatapannya udah kayak mo bunuh kita aja." Anjas berkata setelah menelan yang dia kunyah.
"Kayak dia yang punya rumah aja," sungut Bania.
Anjas sungguh menyayangkan, Ranto harus pulang setelah makan siang tadi. Dia tidak mungkin bertahan sampai malam karena keluarga dan pekerjaan menunggu di rumah.
Dalam setiap kunyahan, Anjas menajamkan otak. Tempat tinggal Ki Sumarno ini terbilang luas. Sangat luas bahkan. Anjas yakin, ada ruang gamelan khusus yang entah bagaimana rupa dalamnya. Ruang itu tadi tertutup rapat saat mereka lewat. Hanya terdengar suara gending yang mengalun samar. Anjas segan bertanya karena Ki Sumarno tak memberi celah sedikit pun.
Tiba-tiba cowok itu berdiri diiringi tatapan dua sahabatnya. Anjas berjalan menuju pojok taman seperti mencari sesuatu.
"Njas--" Bania tersekat.
Anjas memberi kode untuk diam, sementara dia berlari seakan mengejar sesuatu. Dia merasa tak salah lihat. Di bawah bayangan sikas besar, dan temaram langit menjelang magrib, dia melihat gadis itu lagi. Di sini.
Namun rasanya, gadis itu sedang menggoda. Rambut panjangnya selintas berkibar ketika dia berbalik dan melangkah menjauh.
Anjas tercekat. Rambut yang tersibak hingga ke paha itu menampakkan kulit, bukan baju! Dia kecolongan. Gadis itu menghilang di rerimbunan taman saat dia terkesima.
Anjas kembali ke teras dengan kening berkerut.
"Lo ngapain?"
"Ban, lo liat cewek rambut panjang yang tadi berdiri di bawah bayang pohon itu?
"Ngaco!" Bania melotot. "Halu lo keterlaluan. Nggak ada cewek."
Anjas mencebik. "Mata lo yang tertutup lumpia, Ban."
"Setan kalik, Njas--"
"Ini masih sore, Côk, mana ada setan keluar jam segini!"
"Cok ... buka Côk!" Cokro mendesis galak. "Denger ...." Kepalanya meneleng.
Suara azan yang tadinya sayup dari kejauhan terdengar semakin mendekat.
"Magrib," gumam Anjas lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...