"Apa yang harus kulakukan--"
"Kangmas tahu. Ikuti kata hati. Aku akan menuntun," potong Manika. "Cepatlah. Waktu kita tak banyak, atau pulau ini akan hancur tak tersisa."
Tiba-tiba mata Anjas membuka. Dia kembali dalam posisi bersila di atas pasir. Namun entah bagaimana, Anjas meraba seluruh tubuhnya yang terasa basah.
"Mas, kita ke mana?" tanya Ranto tanpa basa basi melihat Anjas membuka mata. Bahkan dia tak perlu bertanya apa yang terjadi hingga Anjas kuyub tanpa kehujanan.
Anjas memukul-mukul pelan kepalanya, mencoba mengembalikan otak yang sempat linglung.
"Cermin dua arah itu ... air. Manika ada di satu tempat. Entah--dia ... membunuh Trisno--" Anjas menggumam acak, sementara Ranto justru menyimak dengan wajah serius. "Kita harus menarik Manika dari sini untuk meredam semuanya."
"Kalau begitu, ayo, berangkat!" sentak Ranto.
Anjas mendongak menatapnya. Sesaat tatapan mereka bertemu. Apa yang tertangkap di mata Ranto, sama seperti yang dia rasakan. Takut, khawatir, resah menjadi satu. Ke mana mereka harus melangkah, bahkan Anjas tak tahu. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling. Saat sejalur petir berpendar menyilaukan, di atas tebing pinggir pantai, dia seperti melihat siluet gadis dengan rambut panjang. Gemuruh suara geledek tumpang tindih dengan debur ombak menjadi musik yang terdengar menggiriskan.
"Manika--" desisnya tanpa sadar.
Tatapannya tak lepas dari satu titik keberadaan gadis itu, ketika Ranto justru yang tertatih menyeretnya. Sampai berdiri tegak, Anjas baru sadar dan beralih peran. Tangan Ranto dia kalungkan di leher, untuk memapah berjalan. Tangan kanan Anjas menenteng peti berisi wayang buatan Trisno. Tersaruk-saruk mereka mendekat ke arah tebing karang di bibir pantai.
Tak mudah. Anjas harus melawati ranjau serpihan kayu yang terkadang tajam. Dia masih harus menyangga tubuh Ranto yang padat berisi, khas penduduk pegunungan.
Sepuluh meter mendekati tebing karang yang tepat di garis pantai, mereka berhenti. Tanpa aba-aba, Anjas dan Ranto menoleh ke belakang. Seruan mereka tertahan demi apa yang tampak.
"Bapak!"
"Simbah!"
Berbarengan mereka menyeru kehadiran sosok dengan beskap hitam itu.
Mbah Martoyo tersenyum.
Ranto melepaskan tangan dari bahu Anjas. Dia berbalik hendak memeluk bapaknya.
"Wujud kita sudah berbeda, Le." Senyum tipis Mbah Martoyo sedikit mengurangi kekecewaan Ranto. "Ayo, bergegas. Waktu semakin tipis."
"Pak--" Suara Ranto tercekat. "Ibu--"
"Bapak sudah bertemu dengan ibumu. Jangan sampai semua sia-sia karena kita terlambat." Mbah Martoyo mengambil inisiatif berjalan lebih dulu.
Anjas menatap Ranto seakan minta persetujuan kembali memapahnya. Dia tak tega melihat tatap kecewa di mata Ranto yang tak bisa sungkem dan memeluk bapaknya. Anjas baru mengulurkan tangan saat lelaki itu mengangguk kecil.
Ranto tak tahu, di depan, sang bapak berjalan dengan mata basah. Kalau bisa memilih, Martoyo lebih suka memenuhi kodratnya sebagai manusia biasa. Pada saatnya tiba, ia ingin menanggalkan kefanaan dan pulang kepada Yang Maha Memilikinya dengan damai. Namun ketika harus merapal mantra moksa demi tugas berat yang dia emban, Martoyo rela.
Tidak mudah hidup di alam uwung-uwung. Apalagi jika masih menyisakan urusan di dunia yang belum selesai. Tujuannya saat ini hanya memastikan tugasnya beres. Setelah itu mungkin dia akan bersemadi meminta ... mati!
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...