Anjas menatap sekeliling. Hanya gelap yang tersisa, bahkan keberadaan Ranto juga tak terlihat. Dia harus berteriak beberapa kali sampai terdengar jawaban Ranto."Tetap bersuara, Pak. Saya ke sana." Anjas nyaris merayap mendekati asal suara. Gerakannya dipercepat saat melihat siluet lelaki itu di atas pasir.
"Pak Ranto kenapa?" Suara Anjas terdengar khawatir, saat mendapati teman seperjalanannya tak bergerak.
"Kaki!" tunjuknya sedikit beringsut.
Anjas mengalihkan perhatian pada bagian tubuh yang ditunjuk Ranto. Dia menggali sedikit agar kaki Ranto bisa keluar dari pasir.
Lelaki itu memekik saat Anjas akan mengangkat kakinya.
Baru teringat membawa ponsel, Anjas memaki diri sendiri sebelum mengeluarkan benda itu dan menyorotkan senter. Sebelumnya, Anjas mengarahkan sinarnya ke sekeliling.
Pantai terlihat porak poranda. Kayu-kayu menyelingkap di antara pasir. Senyap. Tak ada yang bergerak sedikit pun selain jutaan galon air yang masih gemuruh.
Anjas menaruh ponsel, menyandarkannya di kayu dengan cahaya mengarah Ranto.
"Astaga!" serunya setelah menyingkap celana panjang Ranto.
Celana kain longgar itu robek panjang. Saat Anjas menyibak, terlihat tulang kering Ranto yang patah menembus keluar.
"Kenapa, Mas? Kaki saya kenapa?" Ranto gugup.
Lelaki itu mencoba bangun, tapi baru terangkat sejengkal, ambruk lagi.
"Mas Anjas--"
"Tulang kering Pak Ranto patah," potong Anjas sebelum Ranto semakin panik. "Saya lihat bahunya dulu."
Anjas bergeser ke samping Ranto. Tangan kanannya menelusup ke bawah punggung dan sedikit mengangkatnya. Dengan ujung-ujung jari, Anjas menelusuri sepanjang punggung bawah hingga atas.
"Ada yang sakit, Pak?"
Ranto menggeleng.
"Aman. Artinya tak ada yang patah. Mungkin trauma benturan." Anjas pelan membantu Ranto untuk bangun. Dia menyandarkan Ranto di sebuah dahan pohon yang melintang. "Pak Ranto kenapa bisa basah kuyub begini?"
Ranto menoleh dengan kening berkerut. Tangannya menepuk dada dan bahu Anjas. "Lah, sampeyan sendiri ... bagaimana mungkin bisa kering begini?"
Mereka saling tatap dengan bingung.
"Ada guncangan hebat seperti gempa. Kaki saya melesak ke pasir. Saat saya mau berlari, ada suara yang membuat saya terdiam di tempat. Suara itu--entah siapa--"
"Guncangan itu juga saya rasakan, Mas," ujar Ranto lirih. "Saya mencoba menggapai sampeyan, tapi ombak menerjang. Tubuh saya seperti dihantam bertubi-tubi. Entah apa yang terjadi. Saya terhempas, lalu terseret lagi. Gelap di mana-mana. Saya sudah pasrah mati ketika kemudian mendengar suara sampeyan." Suara Ranto mengiba.
"Pak Ranto tidak mendengar suara seseorang--"
"Gemuruh air itu seperti menulikan telinga. Saya ndak mendengar apa pun. Jadi siapa pun itu, saya yakin dia yang sudah menolong sampeyan."
Anjas tercengang tak percaya. "Satu tetes pun saya nggak merasakan kena air." Suaranya bergetar.
Melihat bagaimana kacaunya sekitar, kondisi Ranto yang compang camping, termasuk luka di kaki kiri lelaki itu, membuat nyali Anjas ciut. Ranto tidak mungkin berbohong.
Anjas bergeser mengambil tas, ponsel, dan peti berisi wayang yang sempat dia ambil lagi.
Ranto mengernyit sakit saat berusaha bangun menerima botol minum dari Anjas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...