Bab 18

2K 264 34
                                    

Tanpa menunggu, mereka segera berkemas. Setelah menandaskan minuman, mereka keluar dan menembus hutan pinus. Benar-benar hanya lima menit saat mereka sampai di gerbang Panjalu.

Tak sampai sepuluh menit, double cabin milik Ranto sudah menggeram di tengah heningnya dini hari. Istrinya sempat terlihat mengintip dari balik tirai sebelum mobil itu mundur dan putar balik menuju jalanan.

Tak ada yang bersuara sampai beberapa menit perjalanan. Rasanya semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Tubuh mereka terguncang-guncang mengikuti kontur jalan yang berbatu.

Anjas yang sekarang duduk di depan bersama Ratno tiba-tiba berteriak. Tangannya menurunkan kaca jendela dengan panik sebelum kepalanya melongok keluar.

Bania yang masih waspada mencondongkan tubuh ke depan. "Apa--"

"Berhenti! Stop! Stop!" Tangan kanan Anjas menggapai ke arah Ranto, memotong kalimat Bania.

Begitu mobil berhenti, Anjas meloncat keluar. Dia berlari ke depan mobil sambil memperhatikan langit. Semua mengikuti meski membawa pertanyaan besar di kepala.

Anjas masih terus mendongak saat tiga teman seperjalanannya berdiri di masing-masing sisi.

"Kalian lihat!" Telunjuk pemuda itu mengarah ke langit dengan gemerlap bintang dan bulan yang mendekati purnama. Lengannya membentuk busur dari satu titik di arah timur ke titik di utara.

"Mbah Martoyo benar ... Mbah Martoyo benar ...," desisnya berulang.

"Njas," panggil Cokro sambil menepuk bahu sahabatnya. "Apa yang kamu lihat? Aku ndak liat apa-apa," bisiknya antara prihatin dan khawatir.

"Garis merah darah itu membawa balak." Suara Anjas bergetar. "Arah timur yang dia tinggalkan adalah Alas Pati. Dan dia sedang menuju utara ... Pati!"

"Ada kematian yang ditinggalkan oleh jejak merah itu. Bau anyir darah. Kalian tidak menciumnya?" Anjas gugup, dan semakin gugup saat tiga orang di depannya serentak menggeleng.

"Kita berangkat! Kita berangkat!" Anjas berlari balik ke mobil diikuti yang lain.

Ranto tak bisa menginjak gas lebih dalam. Kondisi jalanan yang berbatu-batu tak memungkinkan buat ngebut.

Anjas duduk gelisah sambil sesekali kepalanya mendongak lewat jendela.

"Astaga!" serunya sambil ternganga.

"Njas, lo lama-lama bikin gue kesel. Ngomong gih, apa yang lo liat!" Bania menyalak dari belakang.

"Ban, mata gue kenapa, sih!" Anjas mengucek mata. "Kalian beneran nggak liat?"

Anjas sekali lagi mendongak. Ribuan hewan berbentuk mirip kelelawar terbang mengejar garis merah darah yang tadi membentuk busur.

Cokro dan Bania saling tatap.

"Berarti perkiraan Simbah tadi benar, Mas--" Ranto menyela.

Semua mata tertuju pada lelaki itu.

"Simbah bilang ada keterikatan antara Mas Anjas dengan wayang itu."

Tatapan Cokro dan Bania bergeser ke Anjas.

"Saya, Pak?" tunjuk Anjas ke hidungnya sendiri.

"Iya." Ranto mengangguk untuk menegaskan.

Kening Anjas berkerut dalam.

"Kita akan cari tahu bersama. Tapi yang jelas, Simbah merasakan ikatan itu, makanya tadi beliau membuka mata batin sampeyan. Mas Cokro dan Mas Bania juga dibuka, tapi lebih untuk melindungi dan membantu Mas Anjas. Apa yang tadi sampeyan lihat?"

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang