"Seribu dua ratus tiga puluh empat!" seru Cokro lirih di kursi belakang. Jelas, kalimat itu tertuju untuk Bania yang duduk di sebelahnya.
"Apaan sih?" Bania melirik kesal.
"Aku ngitungin kamu yang bolak balik menoleh ke belakang."
"Lebay!" Bania mencebik, tidak mungkin sekali dia menoleh sampai hitungan yang Cokro sebutkan tadi.
"Ada apa sih di belakang?" Cokro ikut menengok sekilas.
Bania terlihat ragu saat menjawab. "Gue ngerasa kita diikutin, Cok," bisiknya nyaris tak terdengar.
Cokro menyipitkan mata. "Sekarang justru kamu yang terdengar lebay, deh."
Helaan napas Bania terlepas. "Gue gak nyuruh lo percaya!"
Cokro mengernyit. Bania tak pernah bicara seketus tadi. Perlahan lehernya memutar ke belakang, lalu menatap Bania yang keruh menekuk muka. Sekali lagi Cokro menoleh ke belakang, yang hanya menampakkan kabin terbuka berisi tas punggung mereka. Tak ada apa pun yang bisa dicurigai. Namun Bania tak punya track record usil seperti disandang Anjas. Jadi, tak mungkin Bania berniat mengerjainya!
Alih-alih membahas hal itu lebih jauh, Cokro memilih diam. Beberapa kali dia melirik Bania yang duduk dengan tegang. Tak ada alasan Bania untuk berbohong, dan gestur cowok itu memang sedang terlihat tidak nyaman. Mereka memilih bungkam selama perjalanan.
Jam di tangan menunjuk pukul sembilan lebih empat puluh menit saat mereka masuk kota. Tanpa mereka sadari, ketiga sahabat itu sepakat mensyukuri dalam hati kalau Ranto memilih mengantar. Mereka tak perlu repot mencari ojek mobil dan menyusuri Kota Semarang demi mencari alamat Ki Sumarno. Terlepas apa yang membuat Ranto tiba-tiba merasa harus ikut.
Satu kegelisahan yang membuat Anjas memaksakan diri bertanya.
"Pak, maaf, dari tadi saya sebenarnya pengin nanya, tapi nggak enak," sela Anjas ragu.
Ranto melirik sekilas dan mengangguk meyakinkan Anjas untuk meneruskan kalimatnya.
"Kenapa Bapak memilih mengantar kami? Sayuran yang tadi ditinggal di pasar, apa tidak akan rugi?"
Ranto memang tadi hanya berencana membawa tiga sahabat ini sampai di Magelang, sementara dia akan memasok sayuran di beberapa tempat di sana. Namun ketika mendengar cerita Anjas, hatinya membisikkan sesuatu. Dia menaruh sayuran di satu pengepul pasar, dan memasrahkan penjualan semua bawaannya di satu tempat itu.
Setelah menghela napas panjang, lelaki itu menjawab, "Tidak ada yang rugi untuk satu tujuan yang kita yakini. Katakanlah ini insting. Semoga saya salah, Mas. Tapi melindungi Dukuh Madu Ampil beserta seluruh warga di dalamnya adalah termasuk tanggung jawab saya."
Mereka saling tatap saat merasa Ranto menekankan kata 'seluruh warga' dengan intonasi yang janggal.
"Seluruh warga?" Bania berucap pelan seolah kalimat tanya itu terlepas begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...