Bab 19
Ranto mengemudi seperti membawa orang yang mau melahirkan. Double cabinnya melesat membelah jalanan yang masih menyisakan kabut lereng Selo. Berkali-kali lampu jauhnya menyorot untuk memberi ancang-ancang medan yang akan mereka lalui.
Lelaki itu terlihat sangat menguasai medan. Sebelum bertemu belokan, seakan dia bisa mengendus ke mana harus memutar kemudi.
Anjas duduk memejamkan mata. Namun dengan posisinya yang tegak waspada, semua tahu dia tidak tidur.
Cokro dan Bania yang merasa terlempar-lempar di jok belakang hanya saling tatap, dan mengamati Anjas dengam cemas. Perjalanan yang awalnya disangka akan mudah, ternyata membawa mereka hingga ke titik ini. Sesuatu yang tidak pernah terlintas sedikit pun di benak mereka.
"Kita sudah masuk kota," lapor Ranto tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun.
Cokro dan Bania yang sudah berpegangan pada handle di atas pintu harus menahan tubuh kuat-kuat agar tak terdorong ke samping, saat Ranto mengambil belokan ke kanan. Mereka kembali bertatapan dengan sorot ngeri. Apalagi Bania yang beberapa kali tadi membaca berita kecelakaan. Mulutnya tak henti komat kamit membaca doa.
"Kita ke arah mana, Mas?" seru Ranto lagi.
"Keraton." Anjas menjawab pelan. "Lewat sisi timur, Pak, ada jalan yang hanya bisa ditemukan orang-orang tertentu."
Anjas menegakkan tubuh dan sedikit condong ke depan. Matanya tajam mengawasi jalanan.
"Di depan ambil berputar lalu kanan," instruksinya.
Dia terus memberi arahan sementara Ranto hanya mengurangi sedikit tekanan pada pedas gasnya. Alhasil, beberapa kali decitan rem membuat Cokro dan Bania nyaris terjungkal. Namun tak ada sumpah serapah keluar. Mereka tercekam oleh rasa masing-masing, hingga hanya mampu menghela napas. Semua memaklumi.
"Depan belok kiri. Perlahan, karena langsung patah belok kiri lagi." Telunjuk Anjas mengarah ke depannya.
Jam di tangan menunjuk pukul 3.45, jalanan masih sangat sepi. Apalagi mereka sudah memasuki area keraton. Tak ada kendaraan atau manusia yang melintas lewat.
Anjas memberi aba-aba Ranto untuk mengambil parkir setelah mereka berbelok ke kiri. Ada gang sempit yang membelah dua bangunan. Mungkin kalau siang, mereka bisa melewatinya, tapi pagi buta seperti ini akan sangat mengganggu.
Mereka berhenti di depan bangunan samping kiri.
"Lo kapan terakhir balik ke sini, Njas? Nggak ngagetinkah kalau kita datang pagi-pagi begini?" tanya Bania setelah mereka turun.
"Empat bulan lalu. Itu pun datang dengan baik-baik lewat gerbang depan." Anjas memberi kode untuk berjalan mengikutinya.
Gang kecil sepanjang lima belas meter itu membawa mereka ke satu halaman yang luas. Anjas berjalan menyisir untuk bertemu satu pos kecil. Dua orang berbaju layaknya prajurit terlihat sedang duduk di dalamnya. Mereka langsung berdiri siaga, saat menyadari ada empat tamu yang sudah menyelinap masuk.
"Tunggu di sini sebentar." Anjas menahan tiga orang yang bersamanya, dua langkah dari pos.
Gestur dua penjaga yang terlihat tak senang itu berubah saat melihat Anjas. Tepatnya setelah salah satu di antara mereka terlihat membisikkan sesuatu dekat telinga temannya. Mereka menunduk saat pemuda itu menghampiri.
"Maaf saya menyelinap malam-malam. Ada hal penting yang harus segera saya sampaikan. Saya ingin ketemu Eyang Rasuni. Bisa bawa saya ke sana?" sapa Anjas begitu berhenti di depan mereka.
"Bisa menunggu agak terang, Kanjeng Raden Mas? Eyang Rasuni sedang sakit," jawab salah satu yang bertubuh gempal dengan bahasa Jawa halus.
"Paman Sumitro kenal baik kan dengan saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...