Arloji di tangan Anjas menampilkan angka 21.25 ketika mereka masuk kota Yogyakarta. Demi menghemat waktu, mereka memilih layanan drive thru dan makan malam di mobil.Bania makan perlahan sambil membaca berita di portal online. Nyaris seharian penuh kemarin mereka tidak mendapat sinyal, jadi pesan bertubi-tubi masuk.
"Jakarta banjir. Rumah gue bakal bener-bener terendam sampai atap kalau sampai besok pagi hujan nggak berenti," komen Bania setelah menelan kunyahannya.
Anjas menoleh. "Moga-moga aman, Ban. Daerah lo kan sebenernya juga bukan lahan banjir."
"Tetep aja, Njas. Air selalu nyari celah. Lagi invasi jajahan baru kalik mereka." Suara Bania terdengar kesal.
"Siapa?" sela Cokro.
"Air, Cok ... air!"
Cokro terkekeh mendengar jawaban Bania. Sahabatnya itu termasuk orang yang keras mengkritisi pemerintah tentang tata kota dan dampak lingkungannya.
Mereka kembali diam.
Bania tetap menyelesaikan makan sambil menggulirkan telunjuk di layar android, setelah benerapa kali mencoba menelepon keluarganya, dan gagal.
Cokro baru saja meremas bungkus kosong big burger-nya ketika ponsel di saku berbunyi. Dia masih sempat meneguk lemon tea sebelum menggeser lingkaran hijau.
"Dalem, Ibu," sapanya takzim setelah sesaat mengucap salam.
Suara di seberang tak tertangkap, tapi dari gestur Cokro, mendadak ketegangan menyelimuti penumpang dobel kabin itu.
Bania yang masih menyisakan dua suap makanan langsung memasukkan ke mulut sekaligus, lalu mendorongnya dengan minuman.
Anjas berkali-kali menoleh ke belakang, memastikan Cokro masih menerima telepon.
"Njih, Bu, saya pulang," pungkas Cokro lirih diakhiri menjawab salam.
Tatapan Bania dan Anjas sudah mewakili pertanyaan 'ada apa', meski tidak terlisankan.
"Bapak petang tadi jatuh. Sampai sekarang belum sadar. Kalau jadi aku ... apa yang akan kalian lakukan selain berjanji pulang dan menenangkan Ibu?" Jawaban Cokro sekaligus memancing empati dua sahabatnya. Dari suaranya yang bergetar, tak ada yang menyangsikan kalau pemuda itu terguncang.
Anjas dan Bania bertukar tatap. Mereka tak tahu, mana yang lebih penting. Berada di tengah keluarga yang dicintai, atau berburu wayang yang bahkan hingga saat ini masih terlihat tak masuk akal.
Anjas mengalihkan perhatian pada Ranto yang tetap lurus menyetir dengan wajah kaku. Anjas tahu, Ranto pasti mendengar kalimat Cokro. Dia yang tadinya ingin meminta pertimbangan, mendadak bungkam. Pemuda itu paham, Ranto justru baru saja kehilangan kedua orang tuanya.
Entah bagaimana, Anjas bisa tahu, semadi yang dilakukan istri Mbah Martoyo itu adalah penghambaan pada alam semesta tanpa ujung. Artinya, belum tentu Ranto bisa bertemu lagi dengan ibunya dalam kondisi yang sama seperti dulu.
Kalau dia bertanya pada Ranto, jelas akan malu sendiri. Lelaki itu sudah berikrar menaruh nyawanya demi mengembalikan Wayang Jimat. Ranto bahkan tak terusik saat ayah dan ibunya tak mungkin bisa kembali. Dia juga rela meninggalkan istri dan anaknya demi perjalanan ini, alih-alih berduka atau istirahat.
Anjas menarik napas panjang sebelum beringsut menggeser duduk. Wajahnya lurus menatap depan, menembus kaca seakan ada solusi di sana. Beberapa saat kemudian, matanya memejam. Di dalam kepala pemuda itu seperti sedang ada perundingan. Dia tak paham siapa yang sedang bicara, siapa yang mengelak, siapa yang sedang bertitah. Kalimat demi kalimat berhamburan tanpa bisa dicegah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...