bab 22

2K 252 24
                                    

***

Anjas menghidu anyir darah yang menyusup indera. Keningnya berkerut. Aroma itu mengaduk seluruh isi perutnya, lalu menohok ulu hati. Suara menjeluak keras disusul suluruh sarapan pagi tadi menghambur keluar.

Perlahan mata Anjas membuka. Dia beringsut duduk, meski seluruh tubuh terasa remuk. Di sekelilingnya hanya gelap. Beberapa kali dia mengerjap, berusaha menyesuaikan penglihatan. Rimbun pepohonan yang pertama dia tangkap.

Anjas mengusap tengkuknya yang meremang. Dingin yang terembus bersama angin seperti berlomba menelusup celah-celah baju. Anjas memutar pandangan. Di antara anyir darah, dia mencium aroma tajam bunga melati.

Tertatih, Anjas berdiri. Dengan mengandalkan naluri, dia melangkah ke kanan sambil sempoyongan. Beberapa kali dia terpaksa berhenti sambil menyandar ke pohon. Entah apa yang membuat tubuhnya terasa sangat lemah dan nyeri. Sekujur tubuh terasa seperti luka terbuka, yang diembus angin. Perih, panas, seperti ditusuki jutaan jarum.

Sekali waktu, Anjas terjatuh. Setelah helaan napas yang kesekian kali, dia kembali bangun. Pemuda itu tak menyerah. Dia terus bergerak. Meski pelan. Meski harus merayap.

Sayup dia mendengar lantunan kidung yang rasanya sangat akrab di telinga. Anjas mempercepat langkah. Kakinya diseret paksa untuk tetap menjejak dan bergerak.

Kidung itu ....

Anjas ingat, nyanyian itu yang dia dengar dalam mimpi, satu minggu penuh sebelum mereka memutuskan meneliti Wayang Jimat. Langkah kakinya semakin diseret untuk lebih cepat.

Tiba-tiba, Anjas berhenti. Kepalanya menoleh ke segala arah. Bau anyir darah dan harum melati tumpang tindih terasa sangat dekat. Dia terpaku saat benar-benar menemukan sumber aroma itu. Tubuhnya tersandar ke pohon terdekat, menjaganya tetap tegak

"Gusti Allah!" desisnya dengan ngeri.

Beberapa meter di depannya, sesosok gadis berdiri tegak. Tangannya yang jatuh di samping kanan kiri terlihat memerah.

Anjas menggigit bibirnya kuat-kuat saat bisa memastikan, bahwa merah yang dia lihat adalah ... darah!

Rambut panjang sosok itu yang terlihat menggumpal dan lengket, ternyata juga basah oleh darah. Tangan sosok itu bergerak, menyibak rambut yang melewati lutut.

Seakan ada ratusan meriam yang meledak bersamaan di jantung Anjas. Detaknya terasa seperti dipaksa berhenti saat melihat seluruh tubuh sosok tanpa baju itu berlumur darah.

Anjas menegarkan diri untuk selangkah demi selangkah lebih dekat. Lututnya gemetar mengetahui bahwa sosok itu kehilangan seluruh kulit tubuhnya. Darah merembes dari setiap pori dan meleleh keluar.

Dengan susah payah, Anjas menelan ludah. Rasa perih, panas dan tusukan jarum yang dirasakan pemuda itu seakan bertambah berpuluh kali lipat. Mungkinkah sosok itu merasakan apa yang sekarang Anjas rasakan?

Tubuh Anjas luruh. Kedua kakinya tak mampu menahan lebih lama.

"Manika ...." Anjas menggeram memanggil sosok itu. Sepenuh hati, dia yakin sosok itu adalah Manika.

Hawa seakan semakin mampat. Anjas harus membuka mulut demi mengisap oksigen lebih banyak.

"Aku selalu menjaga diriku, Kangmas." Sosok itu mengangkat kepala, menatap Anjas lekat. "Bahkan sampai akhir hidup, aku menjaga kesucian, demimu."

"Aku berbuat baik. Tak pernah melukai orang lain, meski ternyata tetap ada yang terluka karenaku ...," bisik Manika lirih.

Anjas tergugu. Entah kenapa.

Seharusnya semua itu masalah Manika, tapi kenapa gelombang kesedihan saat ini juga menghantamnya. Rasa sakit luar biasa, kecewa dan kesedihan seolah ikut dia rasakan saat ini. Seolah, dia sendiri yang mengalami. Bukan Manika.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang