Bab 21
Entah berapa lama terpejam, tapi rasanya mata Anjas masih ingin lengket tertutup. Kaca jendela yang berpelapis, membuatnya cukup nyaman karena tidak langsung berhadapan dengan silaunya matahari.
Samar dia mendengar Bania bicara.
"Gue balik menelusur lagi dari Alas Pati, tempat terakhir wayang itu menjejak. Beritanya--"
"Beritanya kenapa?" Cokro terdengar memotong tak sabar.
"Tidak terlalu bagus." Bania berdecak. "TKP tempat kemarin terjadi kecelakaan sekarang justru ramai ...."
"Ramai apa?!" sela Cokro yang mulai kesal dengan kalimat Bania yang hanya sepotong-sepotong.
"Sabar ngapa! Gue sambil baca, Cók!" Bania sengaja memanggil nama sahabatnya dengan lafal yang membuat cowok itu kesal.
"Kelarin baca dulu, baru cerita!" Cokro menggeram.
Bania kembali menunduk. Jemarinya menyeret ke atas beberapa kali deretan huruf di layar ponsel sambil menggeleng-geleng.
"Kalau gue memilih nggak percaya, dosa nggak, sih?" ujarnya setengah mempertanyakan.
"Ngeselin kamu ini. Ngomong yang jelas ngapa!" salak Cokro yang gemasnya mungkin sudah mencapai ubun-ubun.
"Ada penampakan korban meninggal di TKP dengan ... kondisi terakhir saat mereka ditemukan," jawab Bania dengan suara bergetar. "Beberapa orang sudah melihatnya, membuat tempat itu ... mencekam. Bahkan dari jam empat sore, tempat-tempat itu sudah sangat sepi. Tak ada yang berani melewati tempat itu jika matahari sudah tenggelam."
Bania mengakhiri kalimatnya sambil menatap Cokro, tepat saat Anjas berhasil memaksa matanya membuka.
"Ada satu kekuatan yang menyertai wayang itu," kata Anjas setengah bergumam. "Manika sedang menjadi tahanan seseorang."
Bania menoleh menatap sahabatnya yang baru bangun. "Maksud lo?"
"Gue ngerasa Malika beberapa kali mencoba berkomunikasi. Tapi setiap akan terhubung, tiba-tiba ada satu kekuatan yang menariknya paksa. Dia tak terjangkau, seperti ada tirai yang membatasi."
Anjas menangkup wajah dengan dua telapak tangan, lalu menggosoknya untuk menghilangkan sisa kantuk.
"Mas Anjas benar. Wayang itu dikendalikan oleh orang yang mencurinya."
Anjas menoleh kaget, Ranto yang dia sangka masih tidur ternyata ikut menyahut. "Kita harus bagaimana, Pak?"
"Malam ini juga kita harus menemukan wayang itu." Ranto membuka mata dan menegakkan tubuh.
"Malam ini juga?" Bania menaikkan alis.
"Wayang itu diisi oleh arwah tersesat di Alas Pati. Mereka mengambil tumbal dan korban pun berjatuhan di sepanjang perjalanan. Nanti malam, proses penyatuan mereka akan semakin lekat. Kita akan lebih kesulitan melepaskan wa--Manika ... dari situasi itu."
Ranto merasa tak enak menyebut 'wayang itu' di depan Anjas.
"Saya tidak tahu harus bagaimana kalau terlambat ...." Pandangan Ranto menembus jauh melewati kaca jendela di sampingnya.
"Bagaimana kita akan menemukannya, Pak?" Bania menggeser tubuh menghadap belakang demi bisa menatap orang yang dia tanya.
Ranto menjeda dengan embusan napas beratnya sebelum balas menatap Bania.
"Kita mengharapkan keberuntungan. Kalau saya bilang, kita akan mengandalkan Mas Anjas, tentu tidak fair, dia akan berperang sendiri melawan kekuatan yang saat ini melindungi Manika. Jadi mari kita berusaha bersama, dan semoga bisa menemukan tempat mereka sebelum rencana -apa pun itu- terlaksana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...