Bab 16
Anjas yang masih serius dengan ponselnya melirik malas. "Lo taruh mana sih, Ban?"
"Masih di dalam plastik, gue taruh di atas keranjang ini sama punya Cokro."
"Nggak ilang! Paling diambil orang bawah, dicuci."
"Habiiiis, Njaaas! Tinggal yang gue pakek, nih." Bania dengan lebay menarik kolor dan kaos yang dia pakai. "Yakali gue berangkat lagi pakek beginian sama sarung."
Bania berniat pulang dulu ke kos, setidaknya untuk mengambil beberapa baju ganti lagi.
"Cok, cari distro yang bisa kita rampok pagi-pagi. Kalau perlu mereka bisa anter ke sini, sekalian sama sempak kalian sekalian."
Cokro dan Bania saling tatap. Bukannya bahagia dapat gratisan, mereka justru khawatir. Alih-alih menyelesaikan penelitian, Anjas seperti sedang terobsesi pada wayang itu.
Perlahan Cokro mendekat. Tangannya menepuk lutut Anjas yang duduk selonjor.
"Lo baik-baik aja kan, Bro?" tegurnya pelan.
Anjas mendongak menatap Cokro, lalu menekuri ponsel lagi. "Hmmm. Gue masih waras kalau menelaah pertanyaan lo tadi."
"Ini udah ndak sehat, Njas." Cokro berusaha mengambil fokus Anjas. Berhasil.
Anjas menurunkan ponsel dan menatap lekat ke mata Cokro. Keningnya berkerut.
"Penelitian kita udah cukup. Data yang ada tinggal kita olah. Kelar. Hilangnya wayang itu bukan menjadi tanggung jawab kita--"
"Ya. Apalagi lo sampai ngeluarin jauh lebih banyak untuk sesuatu yang tidak kita perlukan lagi." Bania memotong.
Anjas menarik napas panjang berkali-kali. Bagaimana harus menjelaskan pada dua sahabatnya ini.
"Kalian boleh tidak berangkat. Tapi ada sesuatu dalam dada yang mendesak minta diselesaikan. Sumpah, gue nggak marah dan mencoba mengerti kalau kalian memilih tinggal--"
"Bukan begitu, Anjas!" keluh Cokro frustrasi. "Gue cuma nggak habis pikir ... apa lagi yang kita cari."
"Bukan kita, Cok. Gue." Anjas menatap Cokro dalam-dalam. "Gue yang merasa belum selesai."
Bania hanya bergantian menatap dua sahabatnya. Biasanya dia yang menjadi penengah, tapi saat ini otaknya ikut buntu.
"Gue bisa berangkat sendiri. Tapi jauh di dalam hati, gue lebih suka kalian ikut." Anjas tahu apa yang membuat kedua temannya berat. Sesuatu yang sebenarnya bukan masalah besar buatnya.
"Aku nggak pengin banyak merepotkan kamu, Njas," ucap Cokro lirih. Dia bisa menangkap getaran sedih dari ucapan Anjas tadi. Sesuatu yang belum bisa dia mengerti. "Harusnya, duit patungan kita sudah habis untuk pulang kalau kemarin ndak kamu support tiket pesawat."
"Oh, ayolah! Lo tahu kalo gue nggak pernah ngeributin hal itu. Jadii ... masalah kalian cuma itu, kan?"
Anjas mengambil salah satu kartu debit dari dalam dompet, lalu dia letakkan di depan Cokro.
"Jujur, gue butuh kalian sebagai sahabat. Lo tahu PIN-nya, kan?" Anjas mendorong kartu itu lebih dekat ke Cokro. "Lakukan apa yang harus lo lakukan. Ban, lo bantu Cokro. Gue menghadap bokap dulu sambil pamitan."
***
Lereng Merbabu terlihat cerah. Sinar matahari membiaskan kabut yang menutupi puncak dengan sangat cantik. Sementara di belakang mereka, Gunung Merapi tegak angkuh.
Tak ada kebetulan seperti saat pertama mereka datang. Jadi mereka harus jalan kaki dari pinggir jalan raya Selo. Mobil yang mereka sewa dari Bandara Adi Sumarmo jelas tak akan bisa menembus jalanan menuju Panjalu atau Madu Ampil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...