Bab 24

1.9K 257 16
                                    

"Lo mau masuk apa cuma mo bengong di situ?"

Suara Bania menyentakkan Anjas dari lamunan. Seketika, seseorang yang dilihatnya menghilang. Dia naik dengan raut bingung, tak ada takut.

"Kalian nggak lihat--"

"Mereka tidak melihat." Ranto memotong kalimat Anjas. "Kita berangkat." Tangannya menepuk punggung jok Bania yang sudah siap di belakang kemudi.

Aneh. Anjas menatap Ranto. Lelaki itu duduk tegak seperti sedang duduk di singgasana. Matanya menatap lurus ke depan dengan tangan di atas paha. Tatapan dan gerak tubuhnya menyadarkan Anjas pada seseorang.

"Aku akan menemukan Manika. Eyang bisa mengandalkan kami semua." Lirih suara Anjas berbisik.

Ranto menoleh dengan gerakan ganjil. Senyum tipisnya terukir.

Anjas yakin seyakin-yakinnya, bukan Ranto yang sedang dia hadapi!

Tangan kiri Ranto terulur menepuk bahu Anjas, sebelum lelaki itu mengangguk kecil. Tubuh Rantu terdorong sedikit membentur sandaran. Matanya mengerjap berulang kali, lalu menoleh ke arah Anjas di sampingnya.

"Sampeyan sudah tahu siapa yang tadi?" bisiknya.

"Eyang Banyu." Anjas tercekat. Sungguh, dia tak ingin mempercayai. Kepalanya pasti benar-benar gegar otak karena benturan siang tadi.

"Perhatikan wajahku. Dia akan sering muncul bergantian dengan Simbah," lanjut Ranto.

"Pak Ranto tahu kalau ... sedang dipakai--"

"Kalau sudah berpuluh tahun mengalami, sampeyan akan tahu dan tidak akan kaget. Hanya terkadang, terasa sedikit lelah. Tergantung pada seberapa besar kekuatan yang meminjam raga," terangnya santai.

Ranto menyandarkan punggung. Matanya memejam.

"Tidurlah sebentar kalau bisa. Semarang Pati butuh dua jam untuk sampai. Setidaknya, kamu bisa mengumpulkan tenaga dari sekarang," ucap Ranto kemudian tanpa membuka mata.

Anjas ingin menolak, masih terlalu sore untuk menyengaja tidur. Namun dia juga paham alasan Ranto. Jadi dia juga ikut memejamkan mata beristirahat. Tangannya mendekap peti kecil yang diberikan Ki Sumarno sebelum dia keluar dari kamar.

"Untuk membawa wayang itu kembali ke tempatnya," pesan Ki Sumarno tadi.

Meski yakin sempat tertidur, telinga Anjas masih bisa mendengar suara Cokro yang beberapa kali memberi petunjuk jalan buat Bania. Mereka sudah melewati ikon Kota Pati di alun-alun saat dia benar-benar terjaga.

"Mulai waspada, Ban. Kita ke arah utara, menuju  pesisir," tunjuk Anjas pada plang penunjuk arah.

Bania menyetujui tanpa menoleh. Tangannya gesit memutar kemudi sebelum menginjak gas lebih dalam. Lima belas menit, mereka berjalan tanpa suara.

"Cari, Mas," perintah Ranto pelan. "Heningkan pikiran. Kosongkan dari hal lain. Fokus."

Anjas yang kembali memejamkan mata, merasa telapak tangan kanannya dibuka Ranto agar menghadap ke atas. Lalu telunjuk Ranto menekan tepat di tengah telapak tangan itu. Awalnya terasa ringan dan lembut, tapi berangsur, Anjas seperti menahan benda seberat sepuluh kilo. Tekadnya membuka mata dan melepaskan diri diurungkan demi merasakan aliran hangat mengalir di telapak tangannya. Keheningan yang dia rasakan semakin dalam.

"Ada laut. Gelap. Hitam. Ombak pelan." Anjas memejam. Dia memilah informasi yang bermunculan.

"Lebih fokus. Ke mana kita harus menuju?" Suara Ranto terdengar.

"Lautan putih. Semua putih. Bukan ... bukan laut. Bukit setinggi rumah dua lantai. Seperti salju, tapi bukan salju." Anjas melaporkan. "Aroma ... garam--"

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang