Bab 6

2.4K 309 28
                                    

Bab 6

Anjas merasa tubuhnya diguncang dengan keras sebelum kesadaran memasuki. Dia terbangun dan duduk dengan gugup, saat menyadari sudah tidur di tempat semula. Tirai dan pintu yang dia tinggalkan dalam keadaan terbuka, masih tertutup rapat. Sementara gelap masih mengintip di sela lubang angin dan pinggiran jendela.

"Apa--" Anjas menatap dua sahabatnya yang duduk mengawasi.

Dia keluar dari kepompong kantong tidur dan melipatnya asal.

"Lo tidur apa pingsan?" bisik Bania tak bisa menyembunyikan cemas.

"Maksud lo?"

"Setengah jam kami nyoba bangunin kamu, tapi jangankan bangun ... bergerak pun tidak. Apa yang terjadi?"

Anjas menyugar rambut dan meremasnya resah. Tatapannya lekat ke arah pintu, seakan bisa menembus ke luar, di mana dia melihat satu sosok gadis di sana.

"Gue ... kita maksudnya, rasanya harus menemukan wayang itu."

"Apa-apaan lo?" Bania berbisik kesal.

"Kasih aku alasan yang masuk akal, maka aku akan dengan rela mempertimbangkan." Cokro menatap tajam.

Anjas menggeleng. Dia tak tahu, dorongan apa yang membuat dia ingin sekali menemukan wayang itu.

"Perasaan--"

"Jangan ngandelin perasaaan, Njas." Cokro memotong. "Banyak hal yang tak terbukti hanya karena mengatasnamakan perasaan." Cowok itu mengembus kesal. "Kita packing, lalu cabut. Semakin cepat kita berangkat, semakin cepat kita sampai di Semarang."

Anjas menatap Bania yang pamit ke belakang. Sesaat dia menatap Cokro sebelum beranjak menyusul Bania. Dalam dingin suhu lereng Merbabu, mereka memgambil dua rakaat wajib menjelang fajar.

Anjas berbalik menatap dua sahabat yang tadi duduk agak di belakangnya. Wajahnya mendekat seakan ingin membicarakan satu rahasia.

"Mbah Martoyo sepertinya belum bangun. Gue akan mendekat ke gua kecil yang semalam diceritakan Mbah Martoyo. Gue penasaran--"

"Tidak, Njas." Cokro memotong.

"Kalian tidak perlu ikut. Gue sendiri yang akan ke sana. Gue cuma pengin mastiin doang." Anjas bersikeras.

"Kamu tahu ... Mbah Martoyo sudah mengingatkan. Pertama, ada yang sedang melakukan ritual di sana, kalau orang itu tidak berkenan, kita bakal disalahkan. Kedua, Mbah Mar bilang berbahaya. Sudah banyak korban. Kita nggak akan mempertaruhkan nyawa dengan konyol, kan?" Cokro menatap tajam. "Ketiga, sopan santun. Kita bertamu. Layaknya tuan rumah jika tidak mengizinkan, alangkah eloknya kalau kita manut. Tidak asal grubak grubuk."

"Tujuan kita baik. Mbah Martoyo juga sudah berbaik hati ngasih kita nara sumber. Yang kita butuhkan sudah ada. Apa lagi?" Bania menatap dua sahabatnya. "Gue setuju Cokro, Njas."

Bahu Anjas melorot. Dia membenarkan perkataan dua rekannya itu, tapi bagaimana menjelaskan sesuatu yang seperti menggedor-gedor dadanya. Sesuatu yang rasanya menyakitkan sekaligus menuntutnya secara bersamaan. Rasa yang tidak dimengerti, tapi juga tak bisa dia abaikan.

"Gue--seperti ada yang memanggil dari tempat itu." Anjas menyandar penuh ke dinding. Ragu menyelimutinya.

"Semakin lama kita di sini, semakin berbahaya. Kita cabut sekarang." Cokro mengambil keputusan.

Dia segera membenahi kantong tidur dan beberapa kabel charger yang terserak. Cowok itu menyambar handuk kecil setelah anjurannya mandi ditolak Bania.

Anjas masih bergeming di tempat semula. Tangannya memutar-mutar ponsel yang miskin sinyal. Dia sempat heran, semalam ponselnya masih bisa untuk berkirim, menerima pesan dan browsing. Namun pagi ini seakan barang itu membisu.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang