Tatapan Anjas membuat Bania bungkam tanpa sebab. Dia buru-buru melangkah menyusul Cokro.
Dalam remang gua kecil di balik semak, mereka bergerak dalam senyap. Ki Sumarno yang memang terkesan menguasai tempat itu terlihat berlutut di sebuah batu datar menyerupai meja.
Ranto sigap membantu dalang itu menata ubo rampe di atas meja batu.
Bania dan Cokro juga sudah menurunkan tas punggung, dan mengeluarkan bawaan. Beberapa batang dupa diletakkan di atas meja ketika Ranto memintanya dengan isyarat. Mereka lalu mundur ke sudut yang lebih gelap, memberi ruang pada Anjas untuk mendekat membawa peti berisi wayang.
Bania dan Cokro menatap tiga orang yang sedang bekerja di depan mereka. Ranto meletakkan sesajen sesuai urutan. Ki Sumarno menata tiga keris kecil yang entah bagaimana sudah di tangannya. Sementara Anjas perlahan mencoba membuka peti untuk mengeluarkan isinya.
Bania dan Cokro saling tatap saat merasa kuduk mereka meremang seketika. Ruangan gua kecil itu seakan penuh sesak dengan sesuatu yang tak terlihat.
Di depan meja batu, Ranto menjentikkan korek gas untuk membakar dupa dan menyiapkan tungkunya. Sesaat begitu nyala api berpijar menerangi ruang gua, Bania dan Cokro memekik kaget.
Serentak, tiga pasang mata menoleh. Sorot mata mereka ikut membulat saat tahu apa yang dilihat Cokro dan Bania.
Hanya terpaut dua meter di samping kiri mereka, satu sosok duduk bersimpuh, dinaungi bayangan gelap sisi gua. Sosok yang duduk tegak seperti seorang sinden itu tidak bergerak. Dari bentuk tubuh dan rambutnya yang digelung, sepertinya itu sosok wanita. Entah siapa, tak terlihat wajahnya. Namun dari posisinya, wanita itu terlihat tengah tenggelam dalam semadi.
Ranto yang berniat mendekat kaget saat Ki Sumarno menangkap pergelangan tangannya.
"Tidak ada waktu. Segera lakukan upacara." Tatapan Ki Sumarno saat mengatakannya membuat Ranto urung.
Ranto mengarahkan korek api yang masih menyala pada ujung batangan dupa di tangan Anjas. Pemuda itu mengibaskannya untuk mematikan api dan menjaga tetap dalam keadaan bara. Dia lalu meletakkan dupa itu dalam sebuah wadah khusus.
Ki Sumarno yang duduk di tengah mulai bergerak. Dari tangannya yang terangkat, segenggam bunga tabur disebarkan di atas meja batu. Dia mengambil sejimpit menyan dan ratus lalu melemparnya ke dalam tungku berisi arang menyala. Bunyi gemeritik menjadi satu-satunya suara. Bersamaan dengan asap tipis yang memenuhi gua, tercium gabungan aroma bunga, dupa, dan menyan.
Satu matra panjang dalam bahasa Jawa yang diucapkan Ki Sumarno tak mampu ditangkap maknanya oleh tiga sahabat. Hawa gua dan paduan aroma dupa yang mengelindan, membuat udara semakin mampat.
"Cok, lo nggak berniat keluar?" Bania berbisik. Matanya melirik kanan dan kiri berusaha menimbang.
"Banget. Tapi aku jauh lebih penasaran," balas Cokro juga berbisik.
Bania mengedarkan tatap dengan kening berkerut. "Gue yang sesak napas atau memang tempat ini terasa makin penuh sih, Cok!" keluhnya.
Cokro menoleh. Dalam remang gua, terlihat telunjuknya menyilang di bibir sambil mengeluarkan desisan menyuruh diam.
Gemeritik menyan dan ratus yang terbakar, terdengar seperti suara magis yang mengundang jiwa-jiwa lain untuk mendekat. Kepulan asapnya meliuk-liuk lalu pudar sebelum menyentuh langit-langit.
Hening terasa mencekam saat suara Ki Sumarno kembali terdengar. Lirih, hanya mampu menindas gemeritik menyan yang terbakar. Lalu sedikit demi sedikit bertambah keras, membentuk satu tembang yang terdengar seperti memakai bahasa Jawa kuno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...