Bab 10

2.3K 296 46
                                    


Jantra berusaha merebut belati dari tangan Manika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jantra berusaha merebut belati dari tangan Manika. Gadis itu tentu tidak tahu, belati itu bukan belati biasa. Benda itu seperti kutukan. Sekali dia merasakan setetes darah, dia tak akan puas sebelum seluruh tubuhnya berselubung darah.

Lelaki itu berusaha menikung Manika, menguncinya dengan lengan yang kukuh agar bisa merebut senjata di tangan lawan.

Namun Manika juga tak menyerah begitu saja. Meski tak berniat membunuh siapa pun, dia butuh alat untuk mengancam. Satu yang dia inginkan hanya keluar dari rumah laknat itu dan pergi ke Surakarta.

Dia yakin tempat itu sudah dekat. Tempat di mana dua hari lagi dia akan menikah. Semua persiapan sudah selesai. Dia yang tadinya berangkat bersama rombongan, entah bagaimana bisa tersesat sendiri.

Doa-doa sudah terpanjat penuh rintihan. Manika tahu, hanya pertolongan Hyang Widhi yang bisa dia harapkan. Tak ada manusia lain di sana yang akan menolongnya.

Manika sadar, rambut panjangnya mengganggu gerak. Belitannya semakin merepotkan. Dia harus mengorbankan rambut legam itu agar bisa lari dengan lincah.

Belati di tangan Manika yang mengarah pada belitan rambut tak berubah arah. Namun karena empasan dan daya dorong Jantra yang ingin mengunci sang gadis, membuat belati itu menjadi senjata makan tuan.

Manika tak mampu berteriak, ketika belati itu menancap ke tenggorokan. Benda sepanjang satu jengkal itu masuk sempurna dan hanya memperlihatkan gagang. Suara seperti ayam terpotong membuat Jantra surut dua langkah dengan wajah pasi. Darah menyembur kuat dari pembuluh darah besar yang mungkin ikut terpotong.

Belati kutukan itu basah bersimbah darah hingga ke gagang. Benda itu sudah terpuaskan, tak peduli oleh darah siapa.

"Nimas Manika--" Jantra tak mampu menyembunyikan getaran di suaranya. "Maaf ...," desisnya parau.

Tangannya yang gemetar berusaha menangkap tubuh Manika yang luruh ke lantai tanah. Jantra tak peduli seluruh tubuhnya ikut kuyub oleh darah yang juga menggenang. Keterkejutannya berubah isak yang kemudian menjadi raungan.

Anjas melihat dengan jelas, tubuh Jantra bergetar hebat sambil memeluk raga Manika. Sekuat apa pun lelaki itu memanggil, tak ada jawaban. Manika sudah tak bisa bersuara. Tubuh gadis cantik itu menggelepar sesaat sebelum akhirnya diam.

Semua terjadi begitu cepat. Satu kerjapan mata, lalu keadaan menjadi tak terkendali. Tak ada yang bisa Anjas lakukan. Dia masih tegak mematung, meredakan jantung yang detaknya menggila. Keringat sebesar biji-biji jagung mengalir di pelipisnya yang berkedut cepat.

Anjas tak mengenal gadis itu, tapi separuh hatinya terasa ikut mati. Ada kesedihan luar biasa yang menikam jantung, menyayat dan menggores luka yang tak  mungkin bisa disembuhkan. Lelehan air mata di pipi yang bercampur keringat, disapunya kasar. Gerahamnya bergemeretak, menahan kecamuk rasa.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang