Bab 4

2.8K 308 29
                                    

Cokro menunduk menyimpul sepatu. Dua sahabatnya sudah siap di depannya dengan tas punggung masing-masing yang sudah menempel.

Selesai makan tadi, mereka memutuskan singgah di masjid dekat warung untuk ibadah Dhuhur dan Ashar sekaligus. Mereka tak tahu berapa lama perjalanan yang tersisa.

"Apa sebaiknya kita nurutin omongan orang tadi? Gue ngerasa ... serem."

Bania menelan ludah saat mendapat tatapan tajam dari Cokro yang sudah berdiri di sebelahnya. Cowok itu terdiam karena merasa usulnya sia-sia.

"Kita harus ke mana, Njas?" Cokro bertanya tanpa peduli kalimat Bania tadi. Ditariknya dua tali di sisi kanan kiri tas untuk mengatur keseimbangan.

"Gue ...." Anjas mengangkat wajahnya yang menekuri tanah.

Cowok itu mengedarkan tatapan ke sepanjang jalan raya menuju Solo yang membentang di depannya. Tak banyak kendaraan yang lewat. Siang menjelang sore ini, lebih mirip menuju senja. Lampu jalanan sudah menyala kekuningan berusaha menembus kabut.

Gunung Merapi yang seharusnya berdiri angkuh di seberang jalan, hilang sama sekali tertelan kabut, menyisakan ruang kosong yang hampa. Punggungan Gunung Merbabu di belakang mereka juga tak terlihat. Titik terjauh yang mereka lihat hanya atap-atap rumah penduduk yang sekarang banyak berfungsi menjadi guest house.

"Lo yang punya perjalanan, Njas. Segera putuskan. Udah kepalang tanggung." Bania memilih menyerah.

Dia sadar, sahabatnya tak akan menyerah begitu saja. Apalagi perjalanan baru dimulai. Rasa antusias mereka justru sedang berada di titik puncak. Dan Bania ... jangankan dua orang sekaligus, satu orang saja dia tak akan sanggup meruntuhkan kalau mereka sedang bersemangat.

"Lo lebih ganteng kalau bersemangat kayak gitu, Ban." Cokro terkekeh.

Bania menyerapah mendengar satire-nya Cokro.

"Kita menuju Polsek Selo. Jalan aja sebentar ke sana dan kita nanya lokasi Dukuh Madu Ampil." Anjas menatap ke arah kanan, di mana tempat yang dia sebutkan tadi sudah mereka lewati.

Sambil beriringan menyusuri tepian jalan raya, sesekali Cokro menggoda Bania yang masih setengah tak rela. Langkah dan candaan mereka terhenti saat menyadari Anjas tidak lagi berjalan di belakang mereka.

"Lo ngaco mulu. Mana tu bocah!" Bania melongok ke belakang, saat mereka tak juga bisa menangkap sosok Anjas.

Jalanan sedikit menikung itu hanya menyisakan sepi dan kabut yang semakin pekat. Cowok itu mengerenyit dan sedikit mundur, turun dari bahu jalan ketika sebuah pick up seakan memperlambat laju. Dan benar saja, mobil itu berhenti dua meter setelah melewati mereka.

Cokro dan Bania saling tatap ketika dari bak belakang pick up, Anjas berdiri melambaikan tangan. Tanpa aba-aba, mereka berlari mendekat dan langsung meloncat naik.

"Asem! Dapat tumpangan ndak bilang-bilang," sembur Cokro begitu meletakkan pantat di bak pick up.

Anjas tertawa. "Kalian terlalu asyik merencanakan masa depan, sampai nggak sadar gue ada dan bisa memberi petunjuk."

Tawa Anjas semakin keras setelah mendapat toyoran Cokro di bahu.

"Gimana ceritanya lo dapat pick up?" Bania menyender tepat di belakang sopir. "Kita mau diantar sampai mana?"

Anjas menghela napas setelah mengulum tawa. "Tebak."

Matanya bergantian menatap Cokro dan Bania yang balas menatap. Keduanya sepakat menggeleng.

"Ah, nggak usaha kalian ini," gerutu Anjas. Tak urung dia segera menambahkan saat Cokro terlihat benar-benar ingin menelannya. "Juru kunci Dukuh Madu Ampil," bisiknya pelan.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang