Hening melingkupi semesta. Anjas tak mendengar dan merasakan apa pun, hingga kemudian tubuhnya diguncang. Suara dua orang terdengar bersautan riuh dan panik memanggil namanya.
Anjas perlahan membuka mata yang terasa perih. Tubuhnya masih terbaring di atas tempat tidur semula. Saat dia bergerak, selembar handuk kecil basah terjatuh dari kening. Dia pegang handuk itu dan menatap Bania dan Cokro seolah bertanya.
"Lo baik-baik aja, Njas?" Suara Bania tercekat.
"Ini ... apa?" Anjas lirih balik bertanya. Rasanya, nyawanya belum kembali sempurna.
Cokro menggeleng pelan. Disentuhnya lengan, lalu kening Anjas yang dingin normal. Dia saling tatap dengan Bania yang juga melakukan hal serupa.
"Apaan, sih?" Anjas berniat berseru, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara mirip bisikan. "Ini ...." Kembali dia acungkan handuk kecil dengan tatapan bertanya.
"Gue terbangun karena lo menggigil. Gue bangunin Cokro, dan saat kami lihat ... lo demam tinggi. Sumpah!" Bania sampai mengangkat telunjuk dan jari tengahnya.
"Tapi gue baik-baik saja," elak Anjas menyentuhkan telapak tangan ke dahi.
"Iya. Sekarang. Beberapa detik lalu sebelum kamu bangun, mungkin telur akan langsung mateng kalo ditaruh di atas tubuhmu." Cokro menegaskan.
Anjas mengerjap. Dia mencoba bangun, tapi tubuh terasa remuk. Matanya yang perih seperti habis menangis berhari-hari. Perlahan kesadarannya mulai pulih. Ingatannya memutar pada apa yang baru saja dia alami. Dia mungkin bermimpi.
Mimpi yang luar biasa tak masuk akal!
Anjas menelan ludah yang terasa pahit. Kalau benar itu mimpi, dia tak ingin mengalami lagi. Kosong di dalam hatinya masih terasa hingga terbangun. Sakit, sedih dan kehilangan itu masih ada. Nyata.
"Air, Cok," bisiknya lirih.
Cokro sigap menuang air di dalam botol ke dalam gelas kecil, yang langsung diteguk habis.
Anjas memaksa tubuh untuk bangun dan menyandar ke kepala tidur. Bergantian dia tatap Cokro yang duduk di dekat kakinya, dan Bania yang duduk di lantai.
"Hampir setengah jam kami nyoba bangunin kamu, Njas. Nggak ada respon sama sekali." Cokro menerima kembali gelas kosong. "Aku coba nyari bantuan ke luar, tapi rumah ini seperti kosong. Sepi se sepi sepinya," lanjutnya setengah berbisik.
Anjas menghela napas. Tenaganya mulai pulih. Tubuhnya yang terasa sakit di sana sini perlahan membaik, tapi tidak dengan hatinya. Dia seperti benar-benar sedang berduka karena kehilangan seseorang. Hampa.
"Siapa Manika?" Bania menatap Anjas setelah mereka terdiam beberapa saat.
"Manika?" Anjas balik bertanya.
"Lo ngigo manggil-manggil nama itu. Suara lo itu ... berengsek banget, bikin gue ikut ngerasa lo sedang meratapi--"
"Bania sampai nangis!" seru Cokro memotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...