Malam kedua mereka di rumah Ki Sumarno. Jam dinding menunjuk pada pukul sepuluh, tapi Anjas, Bania dan Cokro masih sibuk mencatat, dan meng-capture beberapa halaman dari buku-buku yang terserak di depan mereka.Seharian, bahkan jauh sebelum waktu sarapan mereka sudah berkutat dengan semua itu, tanpa henti. Buku-buku pinjaman itu sepertinya memang tidak diedarkan secara bebas, atau mungkin sudah tidak keluar.
Anjas sempat mencari beberapa di antaranya, dan tidak menemukan di bursa jual beli mana pun. Beberapa judul ada di perpustakaan pusat dan mereka bisa meminjam, jadi perhatian lebih fokus pada buku-buku yang memang hanya ada di rumah Ki Sumarno.
"Mata gue udah gak kuat." Anjas menggeliat, meregangkan kedua tangannya ke atas.
Dia melirik jam dinding yang sudah bergeser menunjuk pada pukul sebelas. Didorongnya laptop tipis sepuluh inchi, lalu mematikan koneksi bluetooth yang menghubungkan perangkat itu dengan ponsel masing-masing.
"Folder udah rapi, kan, Njas?" Bania ikut meregangkan punggung.
"Hmm. Lo berdua bisa cek habis ini kalau belum ngantuk. Mata gue berat banget. Gue tidur duluan, ya."
Anjas bangkit setelah mendengar persetujuan teman-temannya.
Malam terasa benar-benar sepi. Tak terdengar suara apa pun dari luar. Bahkan setelah makan malam tadi, mereka juga enggan beranjak dan memilih kembali mengurung diri dalam kamar.
Bagaimanapun, mereka tahu diri untuk bekerja lebih cepat. Rasa tak enak karena menumpang gratis di rumah orang, membuat mereka melupakan penat.
Anjas merebahkan tubuh di salah satu ranjang, sementara Bania dan Cokro akan berbagi di tempat tidur yang satunya. Dibiarkannya Cokro mengambil alih laptop untuk memastikan seluruh pekerjaan mereka hari ini terdokumentasi dengan rapi.
Perlahan kesadarannya menurun dan semua terdengar sangat tenang.
Entah berapa lama dia tertidur, ketika kemudian terbangun. Anjas membuka mata pelan, dengan kesegaran seolah dia sudah terlelap berjam-jam. Telinganya menajam, mendengar ketukan pelan di pintu.
Anjas melihat ke tempat tidur sebelah, di mana Bania dan Cokro terlihat lelap. Kamar sudah kembali rapi, dengan tumpukan buku dan laptop di atas meja, di atas karpet yang mereka gelar. Lampu kamar yang diganti temaram membuat tidur mereka lebih nyenyak.
Ketukan itu kembali terdengar. Tidak keras. Tidak menuntut dibukakan.
Suara ketukan selembut itu tak mungkin bisa membangunkan tidur Bania dan Cokro. Namun Anjas tahu, ada seseorang di balik pintu itu yang ingin bertandang.
Tanpa prasangka, Anjas turun dari tempat tidur. Tangannya memutar anak kunci sebelum membuka daun pintu berukir dari kayu jati itu.
Angin berembus pelan menyapanya, bersamaan dengan sepi yang menggigit. Anjas yakin tak salah dengar. Namun tak ada siapa pun di depan pintu kamar. Dia mengedarkan pandang. Lorong menuju rumah dalam sepi. Demikian juga ruang tamu dalam yang berbatasan dengan pendopo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...