Sepi menggelanyut, menenggelamkan Anjas, Bania dan Cokro dalam pikiran masing-masing. Tak ada yang benar-benar bersuara hingga bermenit-menit kemudian.
Bania menatap jalanan dengan mata berkabut. Sesekali dia mengusap matanya dengan kasar, mengalihkan dadanya yang gemuruh menahan sesak.
Anjas yang duduk di sebelahnya lebih memilih menatap keluar melalui jendela. Sementara Cokro yang terlihat shock, duduk tegak seakan sedang menghadapi sidang.
Tak ada yang peduli, meski Bania menginjak gas jauh lebih dalam.
"Ban, turunkan kecepatan!" Tiba-tiba Anjas menoleh memberi instruksi.
Bahkan sebelum Bania benar-benar melakukan perintahnya, Anjas sudah berbalik tubuh menghadap Ranto. Tubuhnya yang tinggi terselip di antara dua jok.
"Cok, bantu gue!" teriaknya.
Cokro tergeragap kaget.
"Buka baju Pak Ranto! Cepat!"
Tanpa menunggu dua kali, Cokro menarik lepas baju Ranto. Kancingnya berhamburan saat kemeja itu disentakkan dengan paksa.
Anjas mendekat dan mengamati. Beberapa detik kemudian, dia menemukan sebuah bulatan membiru sebesar kepalan tangan di bahu kiri.
"Pisau lipat!" Tangannya terulur pada Cokro yang masih terpana.
Anjas tahu, Cokro selalu membawa pisau lipat hadiah darinya di tas pinggang tipis.
Meski tak paham untuk apa, Cokro mengambil dan menyerahkannya tanpa bertanya.
Anjas membuka salah satu dari beberapa mata pisau di sana. Ujung pisau itu seperti pisau bedah yang tipis dan tajam. Tanpa ragu, Anjas menorehkan ujung pisau itu di lingkaran membiru paling bawah.
Darah kehitaman meleleh seketika.
Cokro menatap Anjas, nyaris tak berkedip.
"Racun," bisik Anjas singkat. "Tekan dan urut ke bawah biar keluar semua, Cok!"
Anjas melepaskan kaos yang dia pakai untuk menahan dan membersihkan darah kental kehitaman yang keluar dari lebam birunya Ranto. Kaos warna abu muda yang sudah compang camping itu segera berubah warna menjadi merah kehitaman.
Anjas melakukan semua itu dengan hati-hati, seakan takut menyakiti Ranto.
"Njas," panggil Cokro lirih. "Bukankah Pak Ranto sudah--"
"Tak ada salahnya berusaha," potong Anjas cepat.
Begitu warna biru itu sudah jauh memudar, Anjas meletakkan ujung telunjuk tangan kanannya tepat ke arah jantung Ranto. Dia sedikit menekan hingga terlihat bergetar.
Satu menit.
Dua menit.
Bania nyaris banting setir ketika mendengar suara Ranto terbatuk-batuk. Dia refleks memaki sebelum memilih menepi dan berhenti.
Anjas tak sempat berkomentar. Dia masih terus menekan jantung Ranto dengan ujung telunjuk.
Untuk kedua kalinya Ranto bantuk. Kali ini lebih keras. Dia terbungkuk ke depan sebelum kembali terjajar ke sandaran.
Anjas menatap Ranto. Telunjuknya yang tadi menekan jantung, kali ini menekan dahi, tepat di pertengahan alis.
Perlahan, mata Ranto membuka.
Anjas menurunkan tangan. Dia beringsut karena sudah merasa sakit terjepit di tengah jok itu, sekaligus agar Bania bisa melihat kondisi belakang.
Ranto menyandar lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...