Beberapa kali Anjas memijit kening, meremas rambut di samping dan ubun-ubun. Kepalanya seperti baru saja dihantam benda tak terlihat. Mungkin menidurkan diri sejenak di pesawat tadi bukan pilihan bijak.
Satu cup drip coffee dengan tiga espresso shot yang dibelinya di bandara, tak mampu berperan banyak. Nyeri itu mengendap di kepala, seperti ada ribuan semut yang bergerak bersama.
Dia memilih sedikit merebah dengan menurunkan sandaran punggung. Entah apa yang sedang diceritakan Bania dan Cokro di kursi belakang, Anjas tak bisa mengikuti.
"Masih puyeng, Njas?" Cokro mencondongkan tubuh ke depan saat Anjas belum melepaskan pijitan di keningnya.
Tadi Anjas memang harus dibangunkan dengan agak paksa, karena tidurnya teramat lelap. Pramugari sudah mengguncangnya pelan saat bersiap landing, tapi Anjas bergeming. Guncangan itu bertambah keras, meski tak berhasil membangunkan.
Cokro berinisiatif membekap hidung dan mulut Anjas, hingga kesulitan bernapas. Bukan cara yang baik dan benar, tapi nyatanya bisa membuat sahabatnya itu membuka mata.
Cokro dan Bania sempat kesal. Namun Anjas sampai bersumpah pada dua sahabatnya itu, kalau dia masih sadar dan tidak benar-benar tidur. Cokro dan Bania hanya saling tatap. Cukup sudah segala keanehan yang mereka alami dan diceritakan Anjas. Saat ini mereka sudah sampai di peradaban, jadi Cokro dan Bania memutuskan untuk kembali berpikir logis.
Anjas menengok pelan ke arah dua sahabatnya di bangku belakang.
"Huum." Dia mengerling sejenak ke arah arloji di tangan kiri. Macetnya Jakarta tak pernah main-main.
"Emang gila! Masak iya sih, perjalanan dari bandara ke museum makan waktu jauh lebih lama dari Semarang ke Jakarta." Bania menyambung dengan gerutuan.
Cokro dan Anjas memilih diam tak menanggapi omelan itu. Toh tak akan membuat mereka sampai ke tempat tujuan lebih cepat.
Matahari yang belum jinak bersinar garang, seakan tak rela ada tiga anak muda yang bersembunyi di bawah atap ojek mobil ber-AC.
Jam dua tiga puluh siang saat mereka keluar dari bandara tadi. Sinar matahari yang panas langsung menyerbu, mencucuki kulit tanpa ampun. Mereka langsung menuju museum tanpa pulang dulu. Tas-tas punggung mereka bergelimpangan di bagasi.
Baru pukul 16.40, mobil memasuki gerbang museum, lalu berhenti tepat di depan pintu masuk. Cokro yang bertugas melakukan pembayaran dalam perjalanan memilih tak banyak bicara. Dia bergegas menyusul dua sahabatnya yang sudah bergerak lebih dulu.
"Edyan ... ramenyaa!" Umpatan kesal Cokro berbalas sikutan di rusuk pemuda itu.
Bania yang melakukan. "Diemlah, Cok," desisnya.
Mereka sama-sama melihat betapa panjangnya antrean yang mengular hanya untuk masuk ke area pameran. Di antara ketiganya, tak ada yang berinisiatif maju lebih dulu dan mengantre. Mereka berdiri dengan tas-tas besar di samping.
Anjas yang belum sepenuhnya waras hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Kita datang di jam yang kurang tepat. Bubaran anak SMU, dan hangout orang kantor sebelum balik kerja. Makan dulu aja dah, siapa tahu tambah sore antrian agak mereda. Gue udah mau pingsan rasanya!" Anjas mendecak sebelum menyeret tas punggungnya menuju deretan stan makanan.
Hampir satu jam mereka menghabiskan waktu menikmati piring-piring dan gelas yang sudah kosong di meja.
Anjas sedang serius dengan laptopnya saat Bania dan Cokro ribut.
"Buruan! Buruan!" Bania menyeret tas punggung miliknya dan Anjas sekaligus, sementara Cokro sudah melesat menuju antrian.
"Cok, Ban, sudah mau magrib!" teriak Anjas terseok-seok sambil membawa laptop yang masih terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...