Bab 15

2.1K 253 27
                                    


Tidur sore yang mereka rencanakan ternyata hanya kembang bibir. Jam sepuluh lebih lima belas menit, mereka masih duduk di balkon kamar Anjas di lantai dua. Beberapa toples cemilan yang menemani mereka sudah nyaris kosong. Tiga cangkir besar yang tadinya berisi kopi juga sudah tinggal ampas. Hanya botol air mineral yang masih menyisakan isi.

Dua laptop di depan mereka dalam kondisi menyala, menampilkan data dan artikel penunjang. Malam ini Cokro justru terlihat paling antusias untuk mengolah bahan skripsinya.

Anjas beberapa kali menghela napas, mencoba mengusir resah yang menyelinap. Ingatannya terpaku pada sosok wayang yang tadi dia temui. Anjas merasa ada sosok Manika yang mencoba berkomunikasi dengannya.

Tatapan Anjas menembus langit pekat. Bulan nyaris bulat menggantung indah meski sinarnya kalah oleh lampu-lampu ribuan watt yang berpendar.

"Lo kenapa?" desis Bania yang ternyata memperhatikan.

"Gue pengin bawa wayang itu keluar. Malam ini juga," gumam Anjas tanpa mengalihkan tatapan.

"Seandainya gue bisa bantu ...." Suara Bania mengambang. Ada ragu yang sengaja dia tahan.

Anjas menoleh menatap cowok gondrong di depannya itu. "Maksud lo?"

Bania mengerjap cepat. "Perasaan gue nggak enak," jawabnya lirih. "Lo yakin, besok kita bisa masuk dengan bebas kan, Njas?"

Anjas mengangguk. "Mau lo gimana?"

"Enggak ...." Bania membuang muka saat tatapan Anjas mengejarnya. "Orang yang ngasih lo aksea masuk ... dia bisa dipercaya?"

Kening Anjas berkerut. "Tentu saja." Dia sedikit tersinggung, tahu Bania meragukannya.

"Jangan salah paham." Bania buru-buru meralat saat mendengar intonasi Anjas. "Bisa kita minta tolong lebih?"

Mata Anjas bersirobok dengan Cokro yang kini ikut menyimak.

"Mengintip jadwal setelah dari tempat itu, ke mana Wayang Jimat akan dibawa," desis Bania lirih. "Gue ngerasa akan ada sesuatu yang besar terjadi. Sepertinya, wayang itu harus segera balik ke asalnya. Dan kita harus memastikan, setelah dari sini, wayang itu benar-benar kembali ke Madu Ampil."

Hening sesaat. Mereka tak tahu harus bicara apa.

Cokro merasa, dua sahabatnya mulai berlebihan. Namun tetap saja hatinya bergetar mendengar ucapan Bania.

"Ban, kamu tahu ... aku selalu percaya sama kamu." Suara Cokro lirih tapi mengancam.

"Dan saat ini, gue masih berharap kepercayaan itu masih ada," potong Bania tegas.

Cokro menghela napas. Berat. Berat sekali. Kali ini dia harus mengimbangi dua sahabat yang otaknya mulai kriminal. Dia berpikir keras, bagaimana mengalihkan mereka dari pembicaraan membawa lari wayang itu.

"Besok aku akan coba pancing orang-orang yang terlibat untuk membocorkan perjalanan mereka selanjutnya," usul Cokro setengah putus asa. "Hari ini kita semua lelah. Dan ini sudah beranjak malam. Tidur. Besok kita susun langkah lagi."

Cowok itu tersenyum puas saat usulnya diterima. Masalah besok selesaikan besok, saat ini setidaknya mereka bisa mencoba tenang, dan tidur untuk mengumpulkan tenaga.

Cokro memilih tidur di sofa besar yang ada di kamar, dan merelakan Bania bersama Anjas di tempat tidur. Sialnya, dia justru belum bisa lelap meski sudah terdengar dengkuran halus dari dua temannya. Matanya menerawang, mengingat kembali apa yang terjadi dari awal keberangkatan mereka.

Tak ada yang aneh. Semua baik-baik saja hingga mereka mampir ke Madu Ampil. Dia tak tahu  kenapa emosinya mudah tersulut, padahal tak ada satu dendam pun atas eksistensi sang wayang.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang