Anjas terkesiap. Teriakannya terhenti di tenggorokan. Belum sempat menolong Ranto, Trisno kembali menyerang. Namun lelaki itu berbalik saat Bania dan Cokro menghambur mendekat.
Dengan mudah, langkah Cokro dan Bania dipatahkan. Tak ada yang punya pengalaman berkelahi, apalagi Trisno menghajar mereka dengan sungguh-sungguh dan tenaga berlipat. Kedua pemuda itu terkapar mengerang hanya dengan dua gerakan.
Melihat dua sahabatnya jatuh, Anjas maju berniat menolong.
Namun Trisno sudah menghadang. Tangannya yang terkepal bergetar menyiratkan kekuatan tenaga dalam yang disiapkan. Sepertinya dia tak mau berlama-lama lagi direpotkan dengan gangguan Anjas beserta kawanannya.
Tubuh Anjas bergetar. Dia seperti tak sadar akan bahaya yang mengancam. Tak ada yang tahu apa yang terjadi, saat dia tak peduli kepalan tangan Ranto mengarah ke kepala.
Ranto terseok bangun. Dengan tenaga yang tersisa, dia berusaha memotong serangan Ranto untuk Anjas. Namun langkahnya tertahan saat menyadari Anjas tidak sendirian!
Di dalam tubuh pemuda itu bersemanyam sosok lain yang sangat dikenal Ranto, Banyu Wicitra. Bagaimana tidak kenal, bahkan Ranto pun tidak sendiri. Mbah Martoyo masih berada di sama.
Dua benturan kekuatan terjadi saat pukulan Trisno tenggelam di telapak tangan Anjas. Terdengar suara tulang patah saat Anjas meremas tangan di genggamannya. Disusul jerit kesakitan Trisno.
Amarah Trisno yang meluap, membuatnya kalap. Dengan kaki kiri, dia menendang ke samping di mana Ranto berdiri.
Telak! Ranto tak siap menerima serangan dan tak sempat mengelak. Tendangan berkekuatan penuh itu melabrak dadanya tanpa ampun. Untuk kedua kali Ranto tersungkur.
Anjas terdengar menggeram marah. Kemampuan bertarungnya tiba-tiba meningkat pesat. Dia bertubi-tubi menyerang Trisno. Di antara pukulan-pukulan yang dilancarkan, Anjas sempat memberi instruksi pada Cokro dan Bania.
"Kamu bawa Manika." Tunjuknya pada Cokro, kemudian beralih pada Bania untuk membawa Ranto kembali ke mobil.
Dua sahabat itu seperti disadarkan. Mereka segera berpencar.
Bania berlari menghampiri Ranto yang jatuh telungkup. Dia berusaha memapah Ranto untuk bergerak. Namun belum satu langkah, Ranto kembali memuntahkan darah.
Bania setengah menyeret Ranto. Tangan lelaki yang terkulai lemah itu disampirkan ke bahunya. Dengan setengah diangkat, Bania membawa Ranto kembali ke mobil.
Cokro yang mendapat perintah berbeda, mencoba bergerak secepat mungkin ke arah wayang yang masih tegak menancap. Dia melihat, Trisno berusaha mengejar, tapi dihalangi dengan ketat oleh Anjas.
Melihat Anjas di atas angin, Cokro berani meninggalkan sahabatnya itu untuk menyelesaikan misi. Tak ada apa pun di dekat wayang itu. Hanya gundukan selebar kira-kira dua ubin besar yang sepertinya berfungsi sebagai meja. Di atasnya ada bunga tabur dan dupa yang masih mengepulkan asap.
Cokro merasa ada sengatan listrik yang menjalar ke lengan saat dia mencabut wayang itu. Tanpa banyak bicara, dia mendekap wayang itu di dada lalu bersiap untuk lari menyusul Bania.
Langkahnya sempat terhenti ketika Trisno berusaha menghadang sambil memaki. Dia terjajar ke belakang saat Anjas menariknya menjauh.
"Tunggu aku di sana!"
Suara Anjas yang dalam dan berwibawa membuat Cokro terpaku. Namun detik berikutnya dia sadar, kalau harus segera pergi. Dia berlari tanpa menoleh.
Di belakangnya, Trisno yang berniat lari mengejar dibuat sibuk dengan serangan dari Anjas. Makian kasar masih terdengar berhamburan dari mulut Trisno hingga Cokro berlari jauh. Dia tak melihat bagaimana Anjas membuat Trisno jatuh tersungkur dan tak bisa bangun lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...