Satu tepukan di bahu, memaksa Anjas membuka mata. Tanpa menoleh pun, dia tahu siapa.
Cokro yang tadinya membungkuk menepuk Anjas, ikut berlutut di sebelah sahabatnya itu.
"Lima menit kita kau habiskan dengan berlutut di sini," bisik Cokro benar-benar lirih. "Ada apa?"
Anjas menoleh. Belum sempat menjawab, peluit bersuara tipis melengking terdengar. Waktu mereka benar-benar habis di ruangan itu.
Tatapan Anjas kembali tengadah. Ada rasa tak rela untuk meninggalkan benda itu lagi. Rindu yang belum tuntas tersampaikan, menyelinap nyeri di dadanya. Nyatanya, Anjas tak pernah menganggap apa yang ada di hadapannya itu sebuah benda. Sosok itu sungguh nyata.
"Njas." Bania menyentuh pundak Anjas untuk mengajak keluar.
Anjas mengikuti arah dagu Bania yang menunjuk pintu keluar. Seorang petugas berdiri di sana dengan bahasa tubuh tak sabar, dan tatapan mengusir yang tidak berusaha ditutupi. Sepertinya tinggal mereka yang ada di ruangan sebelum petugas mengizinkan pengunjung berikutnya masuk.
Helaan resah napas Anjas sangat kentara dirasakan dua sahabatnya. Mereka tidak tahu apa yang dirasakan cowok itu. Namun dari sorot matanya, mereka tahu Anjas sedang berperang dengan diri sendiri.
Bania mengangguk saat Anjas meminta pendapat.
Rasanya berat sekali saat dia harus berdiri. Anjas bersumpah bisa merasakan kehadiran Manika di tempat itu. Aura kesedihan dan kehilangan itu menciptakan hampa yang aneh.
"Aku akan kembali untuk menjemputmu ... Manika," desisnya saat kepala mereka sejajar.
Anjas mundur dua langkah, sebelum berbalik lalu melangkah keluar dengan cepat. Dia tak ingin menengok. Dia tahu, Manika menatapnya dari satu tempat. Entah di mana.
Seperti halnya headline yang digaungkan di surat kabar tentang pameran Wayang Jimat, nyatanya event ini membawa jauh lebih banyak hal dari ekspektasi Genk ABC. Namun selepas dari ruangan inti tadi, semua hal yang mereka lewati jadi kehilangan daya tarik.
Apalagi Anjas berjalan seperti dikejar setan. Matanya nyalang menatap ke depan. Langkahnya lebar-lebar dan diayun cepat.
Cokro dan Bania mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka tahu, belum saat bertanya apa pun. Mood Anjas hancur tak terselamatkan. Mereka tidak ingin menambah keruh dengan kelewat kepo, meski penasarannya sudah sampai ubun-ubun.
Mereka keluar lewat pintu samping, dan langsung menuju tempat ibadah di ujung bangunan. Matahari sudah sempurna turun, menghadirkan langit pekat yang terkalahkan pijar lampu.
Tanpa kata, Anjas melemparkan tas punggung, lalu bergegas ke toilet. Dua sahabatnya sepakat untuk bergantian menunggu property yang mereka bawa.
Sudah sepuluh menit mereka hanya duduk diam setelah selesai ibadah. Anjas menyandarkan punggung ke dinding serambi masjid sementara dua temannya mencoba bersabar menunggu.
"Setidaknya lo bisa ngomong apa yang lo rasain, Njas," bujuk Bania untuk kesekian kali saat Anjas masih diam menekur.
Anjas mengerjap. Dia seperti ditarik dari satu lamunan panjang dan dipaksa kembali ke hadapan dua temannya itu. Helaan napasnya seakan membuka kunci kebungkaman.
"Lo tahu cara membawa wayang itu keluar?" Suara Anjas yang lirih datar terdengar seperti seseorang yang sedang menanggung beban.
Cokro dan Bania kembali saling tatap.
"Tinggal bawa. Buka kunci lemari kaca itu, ambil. Kelar." Bania sepertinya kesal, bermenit-menit menunggu Anjas membuka mulut, justru pertanyaan seperti itu yang keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wayang Jimat
Horror"Kau tahu, rasanya dikuliti pelan-pelan? Selembar pembungkus ragamu itu dikelupas, menyisakan daging yang masih kemerahan. Kau tak bisa menangis atau menjerit ... hanya rasa perih, panas, dan ribuan dendam yang menggumpal." Anjas, Bania, dan Cokro t...