Bab 5

2.7K 302 34
                                    

Mbah Martoyo terkekeh mendengar pertanyaan Bania

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mbah Martoyo terkekeh mendengar pertanyaan Bania.

"Aku sudah lama tidak turun gunung, Le."

Sesaat mereka saling menatap.

"Sudahlah. Lupakan. Kalau kalian sudah sampai di sini, artinya ada takdir yang menggariskan seperti itu." Mbah Martoyo melanjutkan, lalu mempersilakan tamunya untuk minum teh dan suguhan yang dibawa istrinya.

Dia pamit untuk ke belakang setelah menunjukkan di mana kamar mandi dan mereka bisa istirahat sebentar. Mereka sepakat akan meneruskan obrolan setelah jam delapan.

Tak ada yang berniat mandi sore itu. Tanpa melepas sarung, mereka duduk di pojok ruang yang sudah digelari tikar pandan. Tak ada perangkat kursi di ruang tamu itu, jadi untuk sedikit meredam dingin, karpet mereka tumpuk dengan tikar pandan.

"Gue heran ...." Anjas menegakkan bahu yang tadi bersandar. "Pak Ranto tidak mau menerima uang yang tadi sudah kami sepakati. Katanya gratis."

Dua sahabat di depannya mulai menyimak dengan serius.

"Ndak ada yang gratis zaman sekarang ini, Njas," timpal Cokro lirih.

"Itu, makanya gue heran. Yang tadi jelas-jelas di bawah kami sudah sepakat, tapi tadi saat kukasih feenya dia nolak. Dia bilang, pantang mengambil upah dari tamu dukuh ini."

"Jangan-jangan ... kita akan jadi korban!" Suara Bania yang bergidik mengundang pelototan dua sahabatnya.

"Lo kalo ngomong positif dikit napa, Ban?" tegur Anjas tegas.

"Kalau di film-film, orang pendatang akan jadi tumbal dan tidak bisa kembali lagi. Entah jadi mangsa atau ditahan jadi pengikut mereka--"

"Bania Athaillah!" Anjas benar-benar geram. "Lo kalo teracuni buku atau film horor nggak usah ngajak-ngajak!"

"Iya, nih. Heran aku! Kita di tempat asing. Jangan ngomong asal." Cokro ikut menyumbang teguran.

Mulut Bania terkatup rapat. Dia sebenarnya juga tidak ingin memikirkan kemungkinan itu, tapi entah bagaimana kalimat itu keluar begitu saja.

"Maaf," desisnya lirih.

Tepukan hangat Cokro membuatnya mampu tersenyum lagi, meski kecut.

"Niat kita baik. Tidak terbersit sedikit pun untuk merusak, atau berbuat jahat. Jadi ... semoga semesta berpihak pada kita. Allah mengirimkan malaikat-malaikat untuk menjaga kita. Lo bisa segera berangkat ke Suriname, dan Cokro menikah sama anak sultan. Bagaimana ... deal?" Anjas menatap Bania dalam-dalam.

"Kamu serius dikit dong kalau doain orang." Cokro memutus kontak Anjas pada Bania.

"Gue sangat serius, Cokro!" Anjas sengaja menekan kata saat menyebut nama temannya itu. Senyumnya dikulum rapat-rapat.

Namun saat Cokro meninju lututnya, Anjas tak bisa menahan tawa.

"Becanda mulu kalian ini." Bania masih belum bisa melepas ketegangan di wajah. Nyatanya memang dia merasa tak nyaman sejak masuk ke dukuh ini.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang