Bab 31

1.9K 256 33
                                    

"Bangunkan dia!" Suara Ranto seperti menampar Anjas yang terkesima.

Anjas dan Cokro serentak bersimpuh dan berusaha mengangkat tubuh Bania. Cokro menopangnya dengan tangan dan lutut kiri, sementara Anjas membersihkan darah di hidung Bania. Hasil hantaman Cokro tadi memang cukup keras, tapi berhasil menghentikan Bania meski sesaat.

Ranto bersila di depan Bania, setelah Anjas selesai. Mata lelaki itu tajam menembus kelopak Bania, seakan mereka sedang saling tatap. Tiba-tiba tangan Ranto terangkat ke depan, dengan telunjuk dan jari tengah mengacung. Dia membuat guratan seperti menulis sesuatu di dahi Bania sebelum kemudian membentuk satu tanda titik dengan mengetuk tepat di tengah dahi.

Perlahan, mata Bania mengerjap, lalu membuka. Pandangan kosong itu menatap lurus seakan menembus kepala Ranto yang duduk di depannya.

Tanpa basa basi lama, Ranto mengatupkan lagi dua mata itu dengan telunjuk dan jari tengahnya. Mulutnya seperti merapal sesuatu yang tak terdengar. Lalu bertepatan dengan berhentinya gumaman mantra, Bania luruh ambruk.

"Kita harus bergegas turun. Belum selesai tugas kita," kata Ranto tegas.

"Tugas?" Kening Cokro berkerut.

"Wayang Jimat belum ketemu. Ingat pesan Simbah?" Ranto menoleh mengingatkan.

Tiba-tiba Bania bangkit dengan gerakan mengejutkan. Pemuda itu berdiri tegak dengan dagu sedikit terangkat pongah. Telunjuknya teracung tepat menunjuk hidung Ranto.

"Awakmu kabeh sik ngobrak abrik kahanan! Titenono, tanah Jowo bakal bakal keno bencono!"*

Bania terlihat sangat marah. Napasnya mendengus-dengus kasar.

Tak ada yang menyadari, tubuh Anjas bergetar halus. Matanya yang menatap Bania mengerjap dengan cepat. Lalu sesaat kemudian dia tersentak. Kesadarannya seperti hilang separuh.

Tubuh Anjas berdiri tegak di depan Bania. Lalu perlahan lunggungnya melengkung, seakan sedang menggendong sesuatu yang tak terlihat. Telunjuk kanannya teracung di depan hidung.

"Tunggul, tugasmu muk njogo papan kene, dudu titah. Aku dewe sik arep ngewangi nggowo bali momonganmu!"** Suara Anjas terdengar berat dan berwibawa.

"Eyang Semar ...." Bania yang dirasuki sosok lain tertunduk.  Tangannya mengepal di depan dada dengan ibu jari mengacung ke atas. "Nyumangga'aken."***

Bania nyaris terjatuh jika Cokro tak sigap menahannya. Perlahan dibawanya turun untuk kembali duduk.

Anjas yang masih terbungkuk-bungkuk, menoleh ke arah Ranto yang berdiri di samping Ki Sumarno yang menyandar pohon.

"Sampeyan bisa kembali ke rumah, akan ada yang membantumu pulang," tunjuknya pada Ki Sumarno dengan bahasa Jawa. "Sampeyan semua, pergi ke kubangan air terbesar yang paling dekat dari tempat ini. Tenaga dari wayang itu harus diredam secepatnya. Setelah ini kalian akan didampingi penguasa Tidar. Aku hanya akan mengawal."

Usai menyelesaikan pesan dalam bahasa Jawa itu, tubuh Anjas perlahan kembali tegak. Tubuh itu berdiri tegak dengan sangat tenang.

Ranto yang pertama paham, siapa yang berdiri di dalam tubuh Anjas.

"Eyang Tidar, sugeng rawuh," sapa Ranto takzim.

"Aku sudah bersama anak ini sejak semalam, hanya kalian tak menyadarinya."

Ucapan lirih itu terdengar Bania dan Cokro. Mereka bertatapan sejenak sebelum sama-sama paham. Mereka melewati Magelang bukan karena Bania tak bisa membaca Maps atau tersesat memutar, tapi memang ada yang sengaja 'menunggu' mereka di kota itu.

Sosok Anjas berpaling menatap Ki Sumarno. "Sampeyan siap pulang?"

Ki Sumarno hanya mengangguk kecil sebelum menguatkan diri untuk bersila.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang