Bab 29

2.1K 271 24
                                    

Anjas menggeliat, membuka matanya yang masih terasa berat.  Dia mengerjap beberapa kali untuk memaksa terjaga. Tiga detik. Lalu sepuluh menit berlalu saat dia menyerah pada sisa kantuk. Namun tiba-tiba dia tersentak. Seperti ada yang menepuk telapak kakinya.

Pemuda itu terduduk dan langsung siaga. Sesaat setelah seluruh kesadarannya kembali, dia mengguncang tubuh Bania dan Cokro. Mereka menggeliat malas, tapi segera bangkit saat Anjas menyebutkan angka yang tertera di arloji. Mereka nyaris melewatkan dua waktu ibadah.

Anjas bergerak ke arah Ranto yang bergelung menghadap tembok. Pelan, disentuhnya pundak lelaki itu.

"Pak, maaf, sudah jam tiga sore," ucapnya hati-hati.

Kalimat lirih itu ternyata mampu membawa balik kesadaran Ranto dengan cepat.

"Astaga!" Ranto duduk dengan tergesa. "Kenapa Ibu ndak mbangunin?"

Tatapannya dengan Anjas bertemu. Sepertinya ada satu kesamaan yang mereka pikirkan.

"Ibu!"

"Mbah Uti!"

Seruan mereka yang hampir bersamaan memancing perhatian Cokro dan Bania. Mereka sesaat saling tatap sebelum menghambur ke dalam sambil memanggil nama Bu Martoyo.

Lutut Anjas rasanya gemetar saat mereka tak menemukan wanita itu di seluruh sudut rumah. Bu Martoyo memang bukan siapa-siapa sebelum ini, tapi Anjas merasa ada keterikatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata dengan keluarga Madu Ampil ini. Apalagi kemudian dia tahu, bahwa keluarga Mbah Martoyo turun temurun lah yang menjaga trah leluhurnya.

"Selama ini, Ibu ndak pernah meninggalkan tamunya untuk urusan apa pun. Saya khawatir--" Suara Ranto seperti tercekik menyesakkan. "Ibu ndak pernah jauh dari Bapak. Apalagi saat ini Bapak memilih jalan lain, dan meninggalkan Ibu."

Anjas dan teman-temannya sangat paham kepedihan yang tengah dirasakan lelaki itu.

Bania beringsut menjauh. Dia teringat sesuatu. Dengan langkah bergegas, dia menuju kamar semadi Mbah Martoyo. Dengan sekali tarik, dia melepas penutup kain hitam di atas meja.

"Pak ... sepertinya Mbah Uti meninggalkan sesuatu," seru Bania membuat semua orang menghambur masuk.

Mereka tertegun menatap segala perlengkapan di atas meja kecil. Semua yang mereka perlukan ada di sana tanpa kurang satu pun.

"Tapi ke mana Mbah Uti?" tanya Cokro lirih.

Ranto menggeleng. Tak ada satu tempat pun yang terlintas di otaknya. "Kita selesaikan urusan ini, lalu saya bisa segera mencari Ibu," jawabnya getir.

"Kita," sambung Cokro menawarkan bantuan. "Kami akan ikut mencari Mbah Uti."

Ranto menggeleng.

"Seandainya kami bisa melakukan semua sendiri--" sela Anjas prihatin.

"Tidak bisa, Mas. Madu Ampil sekarang menjadi tanggung jawab saya. Bahkan kalau kita terlambat, tanah Jawa menjadi taruhannya. Ibu saya--" Ranto tertunduk. Suaranya yang bergetar membuat ngilu hati tiga sahabat itu.

"Ibu saya menjadi nomor sekian. Apa yang kita lakukan kemarin, pengorbanan Bapak, akan sia-sia. Ibu ... semoga dalam lindungan Gusti Allah." Ranto mengeratkan gerahamnya. Geliginya terdengar gemeletuk menahan air mata yang akan jebol. Sekuat tenaga, Ranto berusaha mengendalikan diri.

Anjas mengerjap. Dia memalingkan wajah ke arah lain, menahan sesak.

Cokro dan Bania berinisiatif merapikan ubo rampe upacara. Mereka tertegun saat di samping meja menemukan empat bungkus makanan dengan daun pisang.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang