Bab 23

2.1K 258 27
                                    

Bab 23

Mobil melaju menuju Semarang dengan kecepatan maksimum yang diizinkan. Ranto yang duduk di belakang kemudi terlihat berkonsentrasi penuh.

Setelah sempat bersitegang dengan rumah sakit, mereka akhirnya bisa keluar dengan menandatangani surat perjanjian. Setengah jam pertama, hening di dalam mobil diisi dengan suara Anjas yang sedang berusaha meyakinkan ibunya. Cokro juga dituntut memberi kesaksian kalau Anjas baik-baik saja.

Anjas terlihat panik saat melihat ibunya yang video call berada di bandara bersama ayah dan adiknya.

"Nggak, Mama berangkat ke Kuala Lumpur. Rundown pameran di Milan sebenernya masih satu bulan lagi, makanya kami mau menunggu Mas pulang. Tapi entah, mendadak Eyang Gatra minta kami semua datang ke KL. Kalau Mas bisa, nyusul segera yaa. Eyang udah tahu kok, kalau Mas sedang di sekitar Solo. Jadi nanti dari Semarang nggak usah balik Jakarta."

Anjas terdiam, membuat Cokro yang duduk di sebelahnya memutar tubuh.

'Kenapa?' Mulut Cokro melafalkan kata itu tanpa suara, saat melihat Anjas terpaku menatap layar ponsel yang sudah padam.

Anjas melepas earphone di telinga. "Eyang di KL minta semua keluarga ngumpul di sana. Gue khawatir--"

"Kakek kamu tuh sehat segar bugar. Semoga bukan satu hal yang buruk, siapa tahu beliau mau buka usaha baru, dan pengin anak cucunya ngumpul." Cokro memang belum pernah bertemu secara langsung dengan Eyang Gatra, tapi saat Anjas video call beberapa kali mereka saling menyapa.

Mendengar kalimat Cokro, Anjas hanya menaikkan alis. Tatapannya kembali terlempar ke luar jendela. Tak berhasil menemukan sesuatu yang menarik, Anjas memilih memejam. Dia mencoba menenangkan diri yang mulai gelisah.

Mobil menjadi senyap. Cokro dan Bania tertidur pulas dan mempercayakan penuh pada Ranto yang sudah hafal jalan.

Menjelang magrib mereka terbangun satu per satu. Tepat saat Ranto membelokkan mobil masuk ke satu gapura yang terlihat familier, mata tiga sahabat itu sudah siaga sempurna.

"Pak Ranto, ndak salah?" Cokro mencondongkan tubuh ke depan, demi menegaskan.

"Maaf, tadi pas di rumah sakit, saya kontak Ki Sumarno. Ada beberapa yang harus kita ketahui dari beliau. Ibarat hubungan pertemanan, Ki Sumarno itu bersahabat baik dengan sosok Wayang Jimat." Ranto menghentikan mobil dekat ke pintu masuk pendopo.

"Ayok, kita harus bergerak lebih cepat," ajak Ranto sambil meloncat turun.

Mereka turun bergegas, lalu menyusul Ranto yang sudah sampai di pendopo.

Kedatangan mereka sepertinya memang sudah ditunggu. Ada seorang berbaju hitam dengan celana gombrong sebetis yang juga berwarna hitam menyambut dan langsung membawa mereka ke rumah dalam.

Ranto mengucap salam dan menunduk takzim saat mereka memasuki ruangan pribadi Ki Sumarno. Lelaki yang sedang duduk bersila membelakangi pintu itu menoleh saat mendengar suara Ranto. Dengan isyarat, dia meminta semua untuk duduk.

Aura ruangan itu dirasakan Anjas sangat berbeda. Harum kenanga, melati, dan bakaran dupa tercium samar melengkapi properti di sana berupa keris, payung kuncup dan tombak yang matanya terbungkus kain hijau tua bersulam emas.

Magis yang sudah terasa, seakan meningkat berlipat-lipat dengan kehadiran mereka. Kehadiran Anjas terutama.

"Dari awal bertemu, aku sudah yakin, kalau sampeyan orangnya, Dimas Wirashangga." Ki Sumarno menatap Anjas lekat.

Semua mata tak pelak tertuju pada Anjas yang kebingungan.

"Aku kecolongan," desah Ki Sumarno penuh penyesalan. "Aku menerima Trisno nyantrik di sini tanpa curiga. Ternyata dia yang mendalangi semua ini. Dia yang membawa kabur Wayang Jimat untuk kepentingan pribadinya. Dan yang jelas, sepertinya bukan untuk tujuan yang baik. Dan hanya kamu, Dimas Wirashangga, yang bisa menghentikannya."

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang