Bab 20

2.1K 271 51
                                    

"Eyang mengenal Manika?" Anjas mengulang pertanyaannya.

"Lebih dari kenal, Ngger," jawab Eyang Rasuni lirih.

Mata Eyang Rasuni -yang harusnya berwarna kelabu- berbinar samar di temaram lampu kamar. Mata itu masih seperti mata gadis dua puluhan kalau tak melihat wajah dan kulit di seputar kelopaknya. Tatapan Eyang Rasuni menerawang langit-langit kamar, seakan bisa menembus atap dan menghitung berapa banyak bintang di atasnya.

Anjas sesaat melirik dua sahabat yang ternyata sedang menatapnya. Mereka duduk di kursi pendek tanpa sandaran yang tadi sempat disediakan abdi sebelum keluar. Di sebelah mereka -dengan gerakan sangat halus- Ranto menyentuh arloji di tangan kirinya. Anjas bisa menangkap kode itu.

Mereka diburu waktu!

Dia tak ingin memutus lamunan atau entah apa pun yang sedang dilakukan eyangnya itu. Namun Ranto benar. Mereka harus secepatnya bergerak.

"Eyang ...," panggil Anjas lirih.

Ujung jemarinya mengusap lembut punggung tangan Eyang Rasuni, mengembalikan fokus wanita sepuh itu.

"Apa yang harus saya lakukan?" ucapnya masih lirih.

Anjas mengabaikan tatapan bingung Handoko yang saat ini duduk di depannya.  Kening lelaki itu berkerut menautkan alis di atas tajamnya sorot mata.

Eyang Rasuni sesaat memejam. Saat membuka lagi, dia menggeser tubuh agar bisa duduk sambil bersandar.

Handoko yang lebih dekat, sigap membantu menyusun bantal di belakang punggung Eyang.

"Aku menunggu saat ini. Aku menunggu waktu, siapa di antara keturunan Banyu Wicitra yang datang untuk menyelamatkan kekasihnya ... Manika."

Bola mata Anjas membesar. Dua nama itu selama ini tak pernah dia dengar di kalangan orang dalam. Namun nama-nama itu datang begitu saja, seakan menjadi bagian dari perjalanannya. Namun kalimat terakhir sangat mengganggunya.

"Menyelamatkan?" desis Anjas gamang.

Apa lagi yang perlu diselamatkan dari gadis yang sudah berpulang? Riuh, otak Anjas berpikir. Penyelamatan itu terjadi untuk orang yang masih hidup, dan itu berlaku tiga hari ke depan dengan dikembalikannya wayang itu ke Madu Ampil. Dan tiga hari itu sudah berkurang dengan mereka menghamburkan waktu di sini!

Mata Eyang Rasuni kembali terpejam. Namun dari bibirnya mulai mengalun cerita.

"Saat itu, umurku baru delapan belas tahun, saat Mbakyu Manika terlihat sangat bahagia disunting oleh Kangmas Banyu ...."

Hampir seluruh cerita Eyang Rasuni, sudah Anjas lihat dalam mimpi. Namun dia tak menyangka jika ternyata orang tua Manika menawarkan Rasuni muda untuk menggantikan kakaknya.

"Seumur hidup, aku tahu ... Kangmas Banyu tak pernah mencintaiku. Tapi karena cintanya yang begitu besar pada kakakku, dia berlaku sangat baik dan mengayomi. Dia tak pernah punya istri selain aku, meski saat itu sangat wajar kalau seorang pangeran punya selir." Eyang Rasuni bertutur lancar.

Anjas tak menyela sedikit pun. Rahasia dan perjalanan hidup yang dipendam Eyang Rasuni puluhan tahun ini memang mungkin perlu dia ungkap.

"Lima bayi yang lahir sebelum kakek buyutmu, tak pernah berhasil melewati tahun pertamanya. Hingga satu saat aku bermimpi, Mbakyu Manika mendatangi dan menyuruhku menjauhkan setiap bayi lelaki dengan darah murni. Bayi itu harus dikeluarkan dari keraton sebelum dia tumbuh gigi--"

"Kenapa?" potong Anjas yang bergumam lirih.

Spontan. Dia buru-buru menutup mulut dengan telapak kiri saat sadar terlepas bicara. Sangat tidak sopan memotong kalimat, apalagi orang itu jauh lebih tua.

Wayang JimatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang