46|AMUKAN SEORANG IBU

583 99 4
                                    

Seorang wanita dengan sepatu pentofel menginjakkan kaki di kediaman Satria. Suara gesekan antara alas sepatu dan keramik memenuhi ruangan utama.

Satria yang tengah berdiam diri di atas karpet bulu, sontak bangkit dan mempersilahkan Maira duduk.

"Kenapa nggak dateng ke rumah? Bukannya hari ini sudah waktunya penyuntikan?" tanya Maira begitu mendudukkan bokong diatas sofa.

Satria menepuk jidat. Bagaimana ia bisa melupakan hal itu? "Bentar, saya panggil dulu Isyanya."

Pemuda itu menaiki anak tangga. Sampai di depan pintu, ia mengetuknya beberapa kali, tetapi tak kunjung mendapatkan jawaban.

Membuka pintu bercat pink tersebut, Satria di buat mengernyit tatkala mendapati kamar tersebut kosong. Ia mulai mencari Isya di kamar mandi dan juga balkon kamar, namun tetap saja gadis itu tidak ditemukan juga batang hidungnya.

Memutuskan kembali turun, Satria menghampiri Maira dengan gelisah. "Isya gak ada di kamarnya," tutur lelaki itu.

"Loh, bagaimana bisa? Memangnya Isya kemana?" Maira yang terkejut sontak bangkit dari sofa.

"Aku gak tau," jawab Satria. Bersamaan dengan itu Isya memasuki pintu utama. Gadis tersebut refleks menghentikan langkahnya dengan pupil mata yang melebar.

"Kenapa berhenti? Ayo kesini," suruh Maira dengan mata menyorot tajam.

"Darimana kamu?" tanya wanita itu.

Isya menunduk. "I-isya ... Isya .... " Gadis itu terbata, tidak tau harus menjawab apa?

Wanita tersebut menarik lengan Isya. "Jawab!" sentak nya. Matanya membulat sempurna ketika mendapati luka memar di bawah sikut gadis itu.

"Kenapa lagi ini Isya? Dulu waktu datang ke rumah punggung kamu yang terluka, sekarang lengan. Bukankah sudah saya kasih tau kalau kamu harus bisa menjaga diri?"

Satria melotot. Luka di punggung? Kapan? Dan kenapa? Kenapa dirinya sampai tidak mengetahuinya? Satria ingin bertanya tetapi urung. Ia tau kalo saat ini Maira tengah mengeluarkan emosinya.

"I-ini ... nggak papa," jawab Isya sambil menarik lengannya kembali.

"Kamu keluar sama siapa?" tanya Maira lagi.

Isya diam.

"Kamu punya mulut, 'kan?! Jawab!"

Isya tersentak. Gadis itu memegangi dadanya yang berdebar hebat.

Maira menyipit kala melihat noda es krim di kerah baju gadis itu. "Kamu makan es krim?"

Isya menggeleng kemudian mengangguk.

"Sudah berapa kali saya bilangin kamu gak boleh sering makan es krim, Isyana!" Maira membentak sambil bersedekap dada.

Satria bisa saja menolerir ketika Isya melanggar peraturan. Namun tidak dengan Maira. Wanita itu sangat menjunjung tinggi arti kedisplinan. Ia sama seperti Bagas, tegas.

"Saya sudah memperingatkan secara baik-baik. Kamu di lembutin malah makin ngeyel. Kayaknya saya harus bersikap tegas sama kamu!"

"Kenapa kamu jadi bandel, Isya? Keluar rumah gak bilang-bilang. Makan es krim juga secara diam-diam! Harus gimana lagi saya ngasih ultimatum sama kamu?"

"Isya, terlalu banyak makan es krim itu tidak baik karena bisa menyebabkan penyakit. Apa perlu saya mendikte nya ...? Penyakit Diabetes, penyumbatan pembuluh darah, penyakit kardiovaskular, meningkatkan kadar kolesterol, dan menurunkan aliran darah di daerah otak. Kamu itu sakit, Isya. Penyakit yang satu aja belum sembuh, sekarang mau nambah lagi penyakit lain?!"

ALEXSYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang