66|SETETES AIR MATA PEMUDA KUTUB

77 14 0
                                    

‍‍‍Pernah melihat sebuah gelas kaca yang jatuh lalu pecah berkeping-keping? Ya, seperti itulah hati Alex saat ini. Ketika mengetahui Bocilnya koma, hati Alex benar-benar hancur.

"Ini salah gue. Kalo gue gak terlambat nyelamatin Isya, pasti dia gak akan kayak gini," ujar lelaki tersebut. Telapak kokohnya menjambak surai dengan emosi yang meletup-letup. Alex lalu meninju tembok hingga punggung tangannya sedikit memar.

Mau tau reaksi Satria saat ini? Pemuda itu seperti kehilangan jiwanya. Ia hanya diam melamun sambil memandangi wajah Isya. Sesekali menyeka air yang jatuh dari pelupuk mata. Satria sudah berusaha menahannya, tetapi tetap saja air tersebut berdesakan ingin keluar.

Disana juga ada temen-temen Isya dan Alex. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Hanya menyemangati Alex dan Satria juga berdoa untuk kesembuhan Isya.

Nara mengelus rambut Alex yang sedikit berantakan. Gadis itu menggeleng pelan lalu menarik kedua sudut bibir pemuda tersebut, memaksanya untuk tersenyum. "Isya bakalan baik-baik aja," tuturnya.

Tau reaksi Neervan? Mata pemuda itu memerah menahan tangis. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lalu, Neervan pun mendekat, memeluk Isya. Ia menangis di pelukannya.

Tentu hal itu membuat manusia yang ada di sana tertegun bukan main. "Kay, bangun. Jangan tinggalin kakak," lirih lelaki tersebut.

Kay dan kakak? Itu adalah pertanyaan yang sama yang bersarang di pikiran mereka. Namun, tidak ada yang berani bertanya. Ini sesuatu yang cukup menggemparkan. Baru kali ini mereka melihat Neervan menangis. Neervan itu beku. Tidak ada yang bisa menafsirkan ekspresi wajahnya. Tampangnya nyaris lempeng seperti penggaris.

Pemuda itu menggoncang tubuh ringkih Isya. Saat ini ia benar-benar tidak bisa mengontrol diri. "Kay, bangun Kay!" teriaknya. Mungkin Neervan nyaris gila. Ia tidak ingin kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup untuk yang kedua kalinya.

Alex dan Arthur membawa Neervan keluar dari sana. Ketiganya duduk di kursi dekat parkiran rumah sakit. Alex mengambil napas sebelum akhirnya bertanya, "Siapa Kay, dan apa hubungannya sama Isya?"

Neervan menyeka jejak air matanya dengan gerakan kasar. Pemuda itu terkekeh getir. "Kalian gak perlu tau."

"Kita perlu tau, Van!" Alex mencengkram kedua bahu Neervan. "Lo gak perlu ragu. Cerita sama kita," lanjutnya.

Terdiam sejenak, Nervaan kemudian menjawab, "Kaylara, dia adik gue yang hilang lima belas tahun yang lalu. " Ia menunduk, memejamkan matanya sesaat. "Waktu kecil gue sama Kay lagi main, dan sekelompok penculik bawa Kay kedalam mobil. Waktu itu gue belum tau apa-apa. Gue biarin Kay dibawa sama mereka."

Alex dan Arthur merekam semua penuturan Neervan didalam telinganya. Lalu, Neervan kembali bersuara, "Saat tau kalo Kay diculik, mama gue tersiksa. Setiap hari kerjaannya cuma nangis, sampai akhirnya dokter bilang mama terkena gangguan psikolog. Dia mengidap depresi berat dan harus dirawat di rumah sakit jiwa. Papa nyalahin gue atas apa yang terjadi sama Kay dan mama. Tapi emang bener. Gue yang salah karena waktu itu gue gak sempat nyelamatin Kay. Sejak saat itu papa sering pukul gue, dan gue pantes nerima itu." Hati Neervan sedikit lega karena bisa membagi dukanya yang telah dipendam selama bertahun-tahun. Ini juga adalah salah satu alasan mengapa Neervan sulit bersosialisasi hingga membuatnya tumbuh menjadi pemuda berwajah beku.

"Tapi apa hubungannya sama Isya?" Arthur bertanya canggung. Pemuda itu menggaruk tengkuknya.

"Mata Isya, sama persis kayak mata yang dimiliki oleh Kay. Isya memiliki senyuman manis, kayak Kay. Dan gue yakin kalo Isya itu adalah Kay."

"Kenapa lo bisa seyakin itu? Bisa jadi mereka cuma mirip, kan?" Lagi, Arthur bertanya.

"Karena waktu pertama kali ketemu sama Isya, gue merasakan ikatan batin sama dia. Dan ketika gue tau kalo Isya itu mengidap penyakit Hemofilia, gue semakin yakin kalo Isya itu adek gue. Karena adek gue pun mengidap penyakit tersebut."

ALEXSYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang