67|PADAMNYA SEMANGAT HIDUP

71 15 0
                                    

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Oi ... i love you!" teriak Alex yang muncul dari balik pintu. Pemuda itu berjalan ke arah Isya yang terbaring di atas hospital bed.

"Cil, bangun dong!" Menyentil dahi Isya, cowok itu kembali berujar, "gak capek apa tidur terus?" Alex menopang dagu, sembari menatap lekat wajah Isya.

"Gue tebak itu tulang sendi pasti lumutan karena gak pernah di gerakin." Lelaki itu terkekeh. "Lo udah lama loh tidur kayak gini. Udah hampir tiga bulan. Gak kangen apa sama gue ...? Ayo dong bangun. Bangun atau gue betot!"

Pemuda itu menghela napas. "Gue capek, Cil. Gue kayak orang gila loh, setiap hari ngomong sendiri. Lo gak kasian sama gue, hm? Bahkan suster yang dateng kesini cuma bisa menggeleng miris. Sememprihatinkan itukah hidup gue? Lo tau Cil, sampe sekarang gue masih setia nungguin lo bangun, walaupun tanpa kepastian." Alex menggenggam jemari Isya.

"Gue masih bersikap biasa aja, jalani hari-hari seperti biasa. Tapi lo tau, semangat gue udah padam. Rasanya berat, Cil. Gue udah nggak kuat. Monoton banget nih hidup. Banyak orang-orang yang ngelilingin gue, tapi gue tetep kesepian karena gak ada lo ...." Ia melirik arlojinya. Sebentar lagi jam pelajaran akan segera dimulai. Alex pun bangkit. Pemuda itu mencium singkat kening Isya. "Maaf ... cepet bangun, ya, sayang. Kalo udah bangun jangan lupa makan es krimnya." Alex meletakkan es krim kemasan di samping kepala Isya sebelum akhirnya benar-benar keluar dari ruangan bernuansa putih tersebut.

Sepeninggal Alex, lelaki berjubah hitam datang. Ia memandang wajah Isya begitu lama. Hingga akhirnya lelaki tersebut maju, mengecup singkat bibir Isya kemudian berkata, "I am waiting for you."

Dia keluar, lekas memasuki ruangan monitor dan menghapus adegan dimana dirinya memasuki ruangan rawat Isya. Mungkin, ia sudah sering melakukan hal tersebut selama Isya koma. Karena mengecoh sang penjaga bukan perkara sulit untuknya.

∆∆∆

Satria menatap layar ponselnya yang terus berdering. Ia sedikit ragu untuk mengangkatnya. Karena yang menghubunginya adalah Gauri. Memantapkan tekad, Satria akhirnya menggeser icon berwarna hijau.

"Hallo Satria, gimana kabarnya?" sapa Gauri diseberang telepon.

"Baik aunty, disana gimana kabarnya? Keluarga pada sehat, kan?" Satria membalas.

"Alhamdulillah, disini juga pada sehat. Oh, iya, ponsel Isya gak aktif, ya? Entah kenapa tiba-tiba aunty kangen Isya. Dia baik-baik aja kan disana?"

"Isya baik-baik aja kok."

"Syukur deh. Gimana sekarang keadaannya? Penyakitnya udah mulai membaik, kan? Tolong selalu jagain Isya, ya. Harus rajin kontrol. Obatnya jangan lupa diminum. Dan tubuhnya juga jangan sampai terluka. Aunty percaya Satria bisa jagain Isya."

Satria memejamkan mata sembari mencengkram erat ponselnya. Enggak aunty. Satria gak bisa jagain Isya, batin pemuda itu.

"Satria?"

"Kamu masih disana, kan?"

Satria kembali mendekatkan ponsel ke telinganya. "Iya, aunty tenang aja Satria akan selalu jagain Isya kok. Satria gak akan biarin Isya sampai terluka."

"Hati aunty jadi sedikit tenang setelah bicara sama kamu. Tapi Aunty mau denger suara Isya. Isyanya ada?"

Satria terdiam sesaat. "Isyanya gak ada, aunty. Dia lagi kerja kelompok di rumah temennya."

"Yah, ya udah deh, kapan-kapan aunty telpon lagi ya. Salam sayang buat Isya sama nenek Almira."

"Iya, aunty. Titip salam juga sama keluarga disana."

ALEXSYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang