61|RUMAH OMA

383 78 4
                                    

"Aaa ...." Alex kembali menyuapkan sesendok bubur kedalam mulut Isya.

Gadis itu mengunyahnya perlahan, lalu berkata, "Alex, Isya pengin pulang."

"Lo belum sembuh."

"Tapi Isya pengin pulang. Isya nggak suka bau obat," aku gadis itu dengan nada memelas.

Menghela nafas, cowok itu lalu mengusap kepala Isya. "Oke." Bertepatan dengan itu, seorang dokter datang untuk memeriksa keadaan gadis tersebut.

"Dok, apa dia bisa pulang sekarang?" tanya Alex begitu dokter usai memerik Isya sambil melepas stetoskop dari telinganya.

"Sayangnya tidak bisa. Keadaan pasien masih lemah. Menurut interogasi kalian berasal dari Jakarta, kan? Pasien terlalu lemah untuk melakukan perjalanan jauh," jelas sang dokter.

"Tapi Isya pengin pulang ...." Cewek itu merengek sembari menarik-narik ujung kaos Alex.

Alex terlihat berpikir sejenak, kemudian tersenyum simpul. "Saya tidak akan membawanya ke Jakarta melainkan ke rumah Oma saya. Jaraknya tidak terlalu jauh, kurang lebih hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai ke sana. Bagaimana, apakah boleh?"

"Baiklah. Saya akan pertimbangan terlebih dahulu. Jika memungkinkan, sepertinya bisa. Hanya saja pasien harus dalam keadaan pulih dulu. Kalo begitu, saya permisi." Dokter tersebut lekas keluar, tak lama dari itu muncul Satria dari balik pintu.

Satria menyimpan punggung tangannya di kening Isya untuk mengecek suhu tubuh gadis itu. "Udah baikan?" tanya lelaki itu. Yang di balas anggukan kepala oleh Isya.

"Hari ini gue mau bawa dia ke rumah Oma. Jadi gak perlu di rawat di rumah sakit lagi," beritahu Alex. Wajahnya lempeng, enggan menatap Satria seakan lelaki itu hanyalah tiang listrik yang berdiri di sisi jalan. Sama sekali tidak menarik untuk dipandang.

Satria terkesiap. Pemuda itu menatapnya tajam. "Nggak. Hari ini gue mau bawa Isya pulang."

"Kata dokter, keadaannya masih lemah. Gak memungkinkan buat ngelakuin perjalanan jauh. Udah lo gak usah keras kepala napa? Si Bocil juga lebih aman kalo di rumah Oma."

"Gak. Isya bisa di rawat disini. Lebih akurat."

"Tapi Isya gak mau disini, Satria. Isya gak suka bau obat." Isya menyela dengan bibir mengerucut.

Ngomong-ngomong, siswa-siswi lain sudah pulang ke Jakarta kemarin sore. Yang tersisa hanya Alex, Satria, dan Shireen untuk memantau keadaan Isya.

Satria menatap Isya lekat. Gadis itu menyatukan telapak tangannya, memohon. Dengan setengah hati pemuda itu mengangguk samar.

Isya memekik senang kemudian memeluk tubuh sahabatnya.

∆∆∆

Beberapa kali Alex menekan tombol bel rumah Oma. Pintu kaca tersebut bergeser, menampakkan sesosok lansia berkacamata lengkap dengan seutas tali rantai perak.

"Astaga ...! Alex, cucu kesayangan Oma!" pekik perempuan itu dengan rambut yang sudah memutih termakan usia.

Perempuan itu memeluk erat tubuh cucunya, lalu mempersilakan tamunya untuk masuk.

Mata Isya terpusat pada sofa living room berwarna tosca. Disana terdapat sepasang muda-mudi yang terlihat tengah tertawa renyah. Satria tak melepaskan genggamannya barang sedetikpun, membuat Alex kesal sendiri seraya mengumpat dalam hati.

Kalem, masih gue pantau, batinnya.

"Woelah, Lez, tumben lo kesini?" tanya Alex sembari melakukan adu jotos dengan lelaki yang tengah duduk di atas sofa. Matanya sebening embun, sangat enak untuk dipandang.

ALEXSYA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang