"Ketika aku marah denganmu, hatiku tetap tidak akan pernah berubah. Bahkan, jika aku berusaha menghapus kamu dengan lembut, hatiku menolak.
Aku benci dengan diriku sendiri, ketika aku tidak bisa melakukan apapun."
- Roséanne -
🌹****
Sontak Rose berbalik dan mendapatkan sosok Mark yang kini tengah berdiri di belakangnya dengan raut wajah yang sulit di deskripsikan. Mark mendekat tanpa melepaskan tatapan pada manik mata coklat milik Rose.
"Lo janji gak akan tinggalin gue," ucap Mark saat berdiri di hadapan Rose.
"Janji tetap cinta sama gue, dan nerima segala kekurangan gue. Apa lo bakal nepatin itu?" suara parau itu terdengar begitu pilu, tatapan Mark berubah jadi sendu—untuk yang kedua kalinya dia merasa seperti ini.
"Aku gak mau bahas soal itu, aku mau tanya soal Jeffrey. Kamu yang bikin dia sampai masuk rumah sakit, iya? Kamu emang gak punya hati, Mark." tekan Rose menatap wajah itu dengan mata yang sudah memerah.
"Karena gue sayang sama lo, Ros."
"Kalau beneran kamu sayang sama aku, pasti kamu gak akan nyakitin hati aku berkali-kali," setelahnya Rose beringsut pergi meninggalkan Mark begitu saja.
"Bisa gak, sekali aja. Lo gak bikin Rose nangis?" Jennie menatap kesal laki-laki di hadapannya.
Mark menunduk, "Gue minta maaf soal itu, Jen." sesal Mark, amat sangat dia menyesali.
"Kejar Rose sekarang, kak. Sebelum dia terbang ke Australia malam ini," ujar Lisa sontak membuat Mark terkejut dan kembali mengangkat wajahnya.
"Australia?"
Mereka bertiga mengangguk serempak, nyatanya memang benar, kan. Gadis itu sendiri yang mengatakan tadi malam.
"Kalau kakak gak mau Rose pergi, kejar dia sekarang, kak." ujar Sooya.
Laki-laki itu bergegas, lebih tepatnya berlari sekencang mungkin menuju jalan lintas, bola matanya celingukan ke sana kemari mencari keberadaan Rose—setiap kali ada mobil taxi yang terparkir dia mengeceknya. Namun, Mark tak menemukan dimana Rose, laki-laki itu berdecak kesal.
Begitu banyak kendaraan bermobil berlalu lalang, walaupun jam sudah menunjukkan pukul 00:00 malam hari. Begitulah kota Seoul, kota yang tidak pernah ada waktu untuk beristirahat.
Mark terus menyusuri trotoar seraya melirik ke sana kemari, tatapan nya kini jatuh pada arah sebrang. Rose ada di sana, gadis itu ingin masuk ke dalam mobil taxi. Tanpa menoleh ke kanan dan kiri—Mark melintas begitu saja, bahkan dirinya hampir tertabrak mobil kalau sang sopir tadi tak sempat menginjak rem. Banyak umpatan keluar dari para pengendara ketika melihat kecerobohan Mark, laki-laki itu tak peduli sama sekali. Ia hanya ingin Rose, di pikiran Mark saat ini hanya ingin sampai tujuan dan menahan gadis itu agar tidak pergi meninggalkannya.
"Roseanne!" tangan Mark menahan pintu mobil ketika ingin di tutup oleh Rose, gadis itu refleks terkejut.
"Jangan pergi tinggalin gue, Ros. Gue mohon sama lo," pinta Mark seraya menarik tangan gadis itu agar kembali keluar. Mark segera menyuruh taxi itu untuk pergi sekarang.
"Ada apa, kenapa ngejar aku?" akhirnya bibir Rose berucap.
Mark menunduk seraya mengenggam kedua tangan Rose, "Jangan pergi, gue gak mau kehilangan lo."
"Emangnya kenapa, salah?"
"Maaf," Mark membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya, namun dengan cepat Rose mendorong dadanya hingga ia mendur beberapa langkah.
"Apa tadi, Maaf? Gampang memang bilang kata maaf. Tapi sayangnya kata maaf gak bisa buat hati yang udah hancur ini lekas pulih."
"Masih banyak puing-puing perlakuan kasar kamu di pikiran aku, kecuali kalau aku amnesia!" setelahnya Rose melenggang pergi, kakinya melangkah dengan cepat.
"Kalau lo udah gak mau sama gue lagi, gue bunuh diri aja di sini. Karena bagi gue hidup tanpa lo juga percuma, lebih baik gue mati!" teriak Mark lantang.
Teriakan Mark menghentikan langkah Rose, bunuh diri? Pandai sekali Mark membuat hati Rose menjadi serba salah. Kenapa Rose tidak bisa menghiraukan ucapan laki-laki itu, Mark tidak akan bunuh diri, dia hanya bermain-main. Mungkin kemarin ia masih bisa memaafkan Mark, tapi kali ini dia sudah keterlaluan. Rose bukanlah robot yang seenaknya saja Mark perlakuan dengan sesuka hati.
"Lo beneran mau gue mati, Ros. Udah gak sayang sama gue lagi?"
Rose enggan menyahut, ia merasakan dadanya begitu sesak. Selama hidup bertahun-tahun, ia tak pernah merasa begitu terluka seperti akhir-akhir ini. Mark terlalu terjun kedalam hidupnya, semua yang ada pada Rose akan ia berikan jika laki-laki itu tak pernah menyakitinya sampai sejauh ini, Rose anggap ini sudah keterlaluan. Mark seolah memberi begitu banyak nyawa pada Rose, tapi dalam sekejap laki-laki itu mampu mencabut semua nyawa yang ia miliki.
"Lo udah tahu kalau soal ucapan gue gak pernah main-main, lo terlalu spesial buat gue, Ros. Jujur gue gak suka sama sifat gue sendiri, benci dengan apa yang melekat di dalam diri gue. Lo boleh anggap gue sebagai laki-laki jahat di dunia karena selalu kasar sama perempuan, padahal gue cuma cari kebahagiaan buat diri gue sendiri, kalau orang lain sakit itu konsekuensinya, karena gue gak mau kebahagiaan gue hilang. Gue harap lo mau denger kisah tentang gue,"
"Dari kecil gue gak pernah ngerasain apa itu rasa kasih sayang, Mama. Dia selalu pergi di saat gue butuh, dia gak pernah meluangkan waktu sedikit pun buat gue. Walaupun dia bilang sayang sama gue, tapi dia lebih sayang sama pekerjaan nya, selalu itu yang dia temuin setiap saat, setiap waktu. Bahkan sampai lupa waktu,"
"Jangan salahin gue kenapa punya sifat keras, tapi salahin keadaan, Ros. Papa menempatkan gue ke orang yang salah, kalau Mama Papa keluar negara, gue di rawat sama paman, dia selalu kasar sama gue, bentak, menyiksa, bahkan gue selalu di paksa sesuka hati. Hidup masa kecil gue yang harusnya bahagia, tapi menyedihkan kaya gitu. Lo bisa bayangin gimana rasanya ada di posisi gue, mungkin lo lebih milih mati, begitupun gue. Tapi gue gak lakuin itu karena gue butuh kebahagiaan, butuh kasih sayang seorang perempuan."
"Gue bersyukur ketemu Irene yang masih mau kasih perhatian sama gue, meskipun sikap gue suka bentak, kasar, cuek, bahkan gak peduli. Tapi dia masih mau bertahan, bahkan dia berjuang supaya gue jadi milik dia. Tuhan memang menciptakan manusia berpasangan-pasangan, tapi kalau Irene gak di pasangkan sama gue, lalu itu salah gue? Semua salah waktu, kenapa waktu mempertemukan gue sama lo dan buat gue jatuh cinta."
"Mungkin gue terlalu kejam buat Irene dan juga lo, tapi cinta gak bisa di paksa. Gue berhak cari kebahagiaan, tapi apa? Kebahagiaan gue sekarang udah hilang, lo udah gak peduli lagi sama gue."
Rose termenung, dia meresapi semua perkataan Mark dalam pikirannya. Ternyata kehidupan Mark sangat berat, dia juga bisa terluka dalam meski enggan mengakuinya sejak lama. Rose memutar tubuhnya, ingin melihat wajah laki-laki yang baru saja mengeluarkan semua keluh kesahnya.
"Lo gak pantas dapat laki-laki kaya gue, Ros. Lo berhak bahagia, lebih baik gue mati aja!" Mark melangkah nekat mendekati mobil-mobil yang berlalu.
Mata gadis itu membelalak sempurna, Rose jelas saja tak tinggal diam, akal sehatnya memaksa dia untuk berlari menghampiri Mark yang sudah gila, tak terkendali.
Mark mendekati sebuah mobil yang melaju sangat kencang, tapi tangan Rose lebih cepat menarik lengan laki-laki itu lalu membawa kedalam dekapannya dan memeluknya erat. Rose memang kesal, tapi dia tak ingin laki-laki itu mati konyol di tengah jalan.
"Aku bahagia sama kamu, Mark. Jangan lakuin hal yang gila itu lagi, aku gak mau kehilangan kamu," Rose menangis di dada bidang laki-laki itu, ia semakin mempererat pelukannya.
"Aku sayang sama kamu."
****
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
Only Wanna Be With You [END]
Fanfiction_________________________________ Semua itu berawal karena masalah vidio semasa Ospek. Dimana semua orang takut kepada ketua BEM kampus, lain halnya dengan gadis cantik berdarah Australia yang malah berani mendekati singa kampus. Rosé, terus terang...