🍁 18- Siklus Perubahan

870 144 6
                                    

"Now I will be brave and confess. Let's feel each other as two, not as one."

Marksé
🌹

****

Deburan ombak seakan memaksa naik ke permukaan melenyapkan kaki-kaki mereka ke dalam genangan air hingga basah, tangan Mark terus menggenggam erat jari-jari manis milik Rose, sangat erat. Mungkin itu dapat menyimpulkan kalau Mark benar-benar tak ingin jika gadis itu pergi.

Semilir angin laut membawa suasana hati yang semula kesal kian meredam, mereka membisu dengan segala imaji masing-masing. Hanya menatap hamparan laut yang luas, begitu sunyi, hanya terdengar suara ombak yang merangkak naik ke permukaan, mengajak bermain sebelum berakhir menenggelamkan.

Sejak pertanyaan terlontar dari bibir gadis itu, Mark terus membisu. Tapi pertanyaan butuh jawaban bukan? Lantas, hal itu yang sedari tadi Rose tunggu.

"Lo tahu alasan kenapa gue bisa se-marah itu, Ros?" tanya Mark pada akhirnya, ia menoleh menatap gadis yang kini ikut duduk di sisi kirinya.

"Aku gak tahu, aku takut salah. Lagian cuma kamu yang tahu alasan nya, kan?" balas Rose tanpa menoleh, ia membiarkan sisa surainya bergerak di sapa bayu sore hari.

Laki-laki itu tersenyum tipis, tatapan nya kini jatuh ke bawah, mengambil batu kecil lalu melempar nya dengan sekuat tenaga hingga tenggelam bersama besarnya ombak.

"Apa ini balasan lo, Ros. Karena gue pernah nyakitin lo semasa Ospek?" Mark menatap air laut yang diterpa cahaya matahari sore.

"Gue gak suka lo dekat sama laki-laki lain, apa itu artinya gue mulai jatuh cinta sama lo?"

"Bisa di bilang gue itu egois, karena gue cuma mau lo sama gue. Dan lo tahu kalau gue itu keras, laki-laki yang pernah bikin hati lo sakit, gak seharusnya lo bikin hati ini suka sama lo, Ros." mata sendu Mark menatap lekat iris mata coklat milik Rose, laki-laki itu tengah frustasi tentang perasaannya.

Mark takut merasakan sakit jika Rose tak membalas hati nya yang kini telah jatuh pada gadis itu, Mark bisa segalanya, tapi dia terlalu bodoh tentang cinta. Seumur hidup laki-laki itu tak pernah membuka hatinya kepada siapapun. Rose, hanya gadis itu penyebab muncul euforia pada dirinya. Salah kah, jika Mark memutuskan hanya dengan Rose dia akan menikmati hidup bahagianya kelak.

"Mungkin ini konyol, tapi percayalah kalau gue serius suka sama lo, dan gue gak mau lo pergi, Ros."

Gadis itu menoleh, tatapannya menerawang mata Mark, namun tidak menemukan tanda-tanda keraguan yang terlihat, laki-laki itu sungguh mencintainya. Pasti tidak mudah bagi Mark merasakan jatuh cinta, wajar saja jika laki-laki itu sangat kesal karena mungkin tak ingin cinta pertama nya hilang, bukan. Tangan kanan Rose terulur, merapihkan anak rambut Mark yang terlihat berantakan diterpa angin, begitu lembut dia melakukan nya.

"Aku paham itu, coba kamu berpikir logis. Mana mungkin aku ninggalin kamu, sedangkan kita udah terikat dalam sebuah janji pertunangan."

Mark menatap Rose yang masih menyentuh rambutnya, dia tersenyum simpul, hatinya merasa senang ketika Rose memperhatikan nya seperti ini, paling tidak gadis itu mau menyentuhnya.

"Gue gak ngerti kenapa Irene selalu mau gue sama dia kaya gini, tapi gue malah gak mau. Sedangkan sama lo gue mau, lo pingin tahu jawabannya?"

"Satu, mungkin perasaan gue antara ke Irene sama lo itu beda. Dua, gue selalu mau lo setiap waktu karena akhir-akhir ini lo selalu ada buat gue, selalu bikin hati gue senang. Tiga, gue mau milikin lo seutuhnya, Ros." ucap Mark terlalu jujur tentang perasaannya, dia terlalu terbuka pada Rose.

Rose seketika menyadari sisi lain dari Mark, sebenarnya sifat laki-laki itu lembut—hanya saja dia sengaja menutupi semua itu dengan sikap galaknya. Rose menatap lekat iris mata Mark, sebenarnya tatapannya teduh dan menenangkan jika saja kalem seperti sekarang, tapi Rose paling takut bila kedua alis laki-laki itu mulai bertaut, terutama jika Mark melakukan tindakan kasar dan berakhir berimbas padanya—tapi setelah itu dia bisa membuat detak jantung Rose berpacu lebih cepat, seperti sekarang ini.

Mark mendekatkan wajahnya, ketika hendak merenggut bibir manis yang telah membuatnya candu itu—tak berhasil laki-laki itu rasakan karena Rose memundurkan wajahnya.

"Apa gue perlu izin?"

"Perlu."

"Gak, karena gue yakin lo gak akan mau."

"Itu udah tahu jawabannya." ucap Rose terkekeh kecil setelahnya.

"Sekali?"

Rose menggeleng kuat disertai tawa, tawa yang menggoda, "No, i do not want."

"Did you lie about your feelings for me?"

Rose ingin tertawa sekarang, laki-laki itu terlihat menggemaskan kali ini, ia sama sekali tak bisa menggoda Mark, dia selalu punya cara sendiri untuk bisa melumpuhkan niatnya.

Gadis itu mengecup kening Mark dengan tulus, tangannya membingkai wajah Mark dengan jarak yang begitu dekat. Rose mulai pandai membuat laki-laki itu kian tak berdaya—bedanya jika Mark terlalu memaksa dan sarkas, sedangkan gadis itu dengan tatapan hangatnya, untunglah Mark bukan ice cream yang bisa meleleh. Lagipula Mark pikir hanya dirinya saja yang bisa membuat syaraf motorik Rose melemah?

"Denger yah, aku sayang sama kamu, itu pernyataan dan jangan diragukan." ucap Rose kemudian memeluk tubuh Mark, tangan Mark membalas pelukan itu, ia merasa nyaman di peluk dengan perempuan yang membuatnya gila. Gila jika tak di perdulikan, gila jika Rose berbicara dengan laki-laki lain dan lebih baik mati jika Rose meninggalkan nya.

Rose merasa waktu begitu cepat merubah segalanya, baru kemarin mereka bertunangan dalam mode yang tak nyaman. Dan hari ini ia benar-benar serius mencintainya, ingin berjuang bersamanya dalam hal yang menjurus pada kesatuan. Rose siap menerima Mark dalam segala kekurangannya, lagi pula sebuah kesempurnaan tercipta saat sepasang kekasih ingin menerima kekurangan masing-masing bukan? Rose yang selalu sabar menghadapi sikap keras Mark, akan mengubah kepribadian laki-laki itu.

"Gue rasa setiap pelukan itu gak sama," ujar Mark semakin mempererat pelukannya dan tak ingin melepaskannya untuk saat ini.

"Apa yang beda?"

"Gue sering pelukan sama Irene, tapi kenapa gak kaya gini. Gue gak mau lepas boleh ya?"

Shit! Sadarkah Mark jika mengatakan itu di depan Rose, yang jelas-jelas adalah tunangannya? Oke, itu tidak begitu masalah bagi Rose karena dia tidak ingin Mark kembali menjadi orang kesetanan.

"Mau sampai kapan? Peluk aja pohon kelapa tuh, sebagai gantinya."

"Boleh, asal pohon kelapanya Rose." ucap Mark ngelantur, dia sedang di mabuk cinta, sampai apa-apa Rose.

****

B E R S A M B U N G

Only Wanna Be With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang