3. Uang Atau Cinta?

84 24 4
                                    

Tring!

Lonceng yang tergantung pada pintu sebuah kafe berbunyi ketika Dika membukanya. Malam itu, dia melangkah menuju meja barista di mana kedua sahabatnya—Dayyan dan Fatih berada. Dayyan yang sedang menghitung angka pemasukkan dan pengeluaran kafe selama sebulan penuh, sedangkan Fatih sedang melayani konsumen yang memesan kopi khas dari kafe ini.

Kalau kalian bertanya siapa pemilik kafe ini, jawabannya adalah Dayyan. Meskipun Dayyan terlahir dari keluarga kaya raya, tapi cowok itu memilih hidup sederhana dengan mengisi waktu luangnya menjadi seorang barista di kafe minimalis miliknya sendiri yang ia rintis selama 1 tahun. Soal Fatih, laki-laki itu sendiri yang meminta bekerja di sini untuk menambah penghasilan sekaligus mengisi waktu luang sepulang sekolah.

"Eh, Dik. Mau pesen apa?" tanya Dayyan setelah selesai menulis angka pemasukkan dan pengeluaran kafe. Tempat ini sudah menjadi destinasi favorit Dika hampir setiap malam.

Dika menggelengkan kepalanya. "Nggak, gue cuman mau main aja ke sini."

"Ini bukan tempat main, ini tempat beli minum sama makanan. Kalau lo mau main, ke playground sana," seloroh Dayyan jutek, walaupun niatnya hanya sekadar bercanda.

"Gue nggak punya duit," ungkap Dika mengembuskan napas berat. Jujur, terkadang Dika ingin sekali menikmati makanan dan minuman ala-ala kafe, tetapi isi dompetnya tidak memadai untuknya merasakan hal itu.

Dayyan berdecak malas. "Gue kira kenapa. Ya udah pesen aja gih. Gratis."

Dika langsung mengangkat kepala. "Seriusan?"

Dayyan mengangguk. "Iya, pesen sama makananannya juga. Sekalian buat adik lo."

Seulas senyum tipis terbit di bibir Dika. Hangat, hangat rasanya dia mendapat sahabat dermawan seperti Dayyan. Dan Dayyan sendiri melakukan ini bukan tanpa alasan. Dia selalu berpikir kalau seandainya dia yang berada di posisi Dika, apa dia sanggup menjalani hidup? Di sinilah pentingnya memiliki rasa empati terhadap sesama manusia.

"Thanks, Bro. Gue bangga punya sahabat kayak lo," ungkap Dika dengan sorot mata penuh ketulusan.

"Cielah, biasa aja kali," balas Dayyan sama sekali tidak besar hati.

Namun tiba-tiba, terdengar sedikit isak tangis dari belakang. "Hiks ...."

Dika dan Dayyan menoleh secara bersamaan. Mereka mengernyit saat melihat Fatih berdiri di belakang mereka dengan air mata yang sudah berderai. Jangan lupakan bahunya yang bergetar lantaran isak tangis yang keluar dari bibirnya.

"Lo kenapa heh?" tanya Dayyan panik.

Fatih menyusut air matanya dengan punggung tangan. "Aku terharu."

"YEUUU!" decak Dayyan lalu mendengkus seraya merotasikan bola matanya. Begitupun dengan Dika yang terkekeh pelan melihat Fatih yang hatinya terlalu lembut sehingga mudah tersentuh dan terbawa perasaan.

"Yan," panggil Dika, dan Dayyan menoleh. "Lo masih punya mimpi buat bangun masjid sama panti asuhan?" tanyanya tiba-tiba.

Air muka Dayyan mendadak berubah kusut. Helaan napas berat meluncur dari bibirnya. "Masih, tapi kayaknya susah buat ngelakuin hal itu."

Ya, Dayyan memang memiliki satu impian yang sejak dulu sangat ingin dia wujudkan, yaitu membangun sebuah masjid dan panti asuhan. Namun, Dayyan kurang yakin bila dua mimpi besarnya itu berhasil menjadi kenyataan. Impiannya harus terhalang karena ia dan kedua orang tuanya berbeda agama. Dayyan beragama islam, sedangkan orang tuanya beragama Kristen.

"Halo!"

Fatih, Dika, dan Dayyan menoleh serentak pada sumber suara. Sosok laki-laki dengan kaos dan celana jin memasuki kafe sembari membawa sebuah kandang di tangannya.

PENGAMEN KEREN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang