Bulan sabit bersama jajaran bintang berlomba-lomba memancarkan cahaya menerangi gelapnya malam. Angin malam itu berembus dengan sejuknya membelai lembut wajah laki-laki yang baru saja tiba di rumah. Wajahnya terlihat pucat, rambutnya pun lepek, mungkin karena efek seharian berkeliaran di luar rumah tanpa berisitirahat terlebih dahulu.
"Assalamualaikum."
Laki-laki itu membuka pintu sebuah rumah sederhana yang menyatu dengan rumah-rumah lainnya. Sebut saja sebuah kontrakan.
"Waalaikumsalam," sahut seorang gadis muncul dari balik kamar, menyambut kedatangan sang abang dengan senyuman. Ia juga mencium. punggung tangan abangnya.
Dika, laki-laki itu menyerahkan satu kantung plastik berisi obat-obatan kepada Diandra—sang adik tercinta. "Nih, obat buat kamu. Jangan lupa diminum."
Diandra tersenyum getir menatap jajaran kapsul di dalam kantung plastik itu yang kini menjadi temannya sehari-hari untuk dikonsumsi. "Makasih, tapi aku gak janji, ya. Hehehe," kata perempuan itu terkekeh.
"Gak janji apa?" tanya Dika seraya duduk dengan kepala menghadap langit dan kedua tangannya digunakan untuk menyugar rambutnya yang berkeringat.
Diandra ikut duduk di samping Dika. "Janji buat minum obatnya."
Dika seketika menoleh menatap Diandra. "Kok gitu?"
"Ya aku capek aja harus minumin obat-obatan terus, Bang. Tapi buktinya gak sembuh-sembuh tuh," lirih Diandra seketika menunduk. Setetes air mata terjatuh membasahi pipi tirusnya.
Dika menghela napas panjang. Tidak mau membuat adiknya bersedih, Dika lantas menarik tubuh Diandra ke dalam pelukannya. Satu tangannya naik mengusap rambut gadis itu, sedangkan tangan lainnya ia gunakan untuk mengusap punggung Diandra yang terisak.
"Gak boleh ngomong gitu. Abang juga kan lagi berusaha cari uang supaya kamu bisa sembuh. Kamunya juga harus semangat dong. Oke?" Dika memberi semangat supaya Diandra bangkit.
Diandra Salvina, gadis kelas X jurusan perhotelan SMK Gemintang. Di usianya yang masih muda, dia harus menampung tumor berupa benjolan berisi cairan yang terbentuk di dalam ovarium. Atau tumor ini lebih dikenal dengan sebutan kista. Ya, sejak setengah tahun terakhir Diandra didiagnosis mengidap kista. Karena keterbatasan ekonomi, ia tidak bisa melakukan tindakan operasi untuk mengangkat benjolan tersebut. Hanya obat-obat apotek-lah yang selama ini membantu meredakan rasa nyeri di perutnya.
Tangis Diandra pelan-pelan mereda. "Aku ... kangen Papah sama Mamah," lirih perempuan itu mendongak menatap mata hitam legam milik Dika.
Dika memberikan senyum dan tatapan hangatnya untuk sang adik. Walaupun ia merasakan hal yang sama, rindu dengan kedua orang tuanya. Ibu jarinya lalu terangkat menyapu air mata yang tersisa di ujung kornea Diandra. "Sama kok, Abang juga kangen sama mereka. Kita doain aja semoga Papah sama Mamah sehat terus di sana. Berdoa juga semoga mereka cepet pulang," tutur Dika mencoba memberi ketenangan.
Setelah puas dipeluk Dika, Diandra lantas menarik tubuhnya kembali. "Aku mau nanya deh sama Abang. Boleh?" Dika mengangguk sebagai jawaban. "Hampir satu taun kita cuman tinggal berdua di sini. Abang ngerasa direpotin, ya, sama kehadiran aku? Apalagi pas aku divonis kena kista, pasti Abang nyesel punya adek kayak aku. Iya kan?"
Laki-laki itu menatap Diandra idak setuju. Demi apa pun, ia tulus merawat adiknya sepenuh hati. Tak pernah terlintas di pikirannya setitik ketidakikhlasan. Justru Dika merasa senang bisa membahagiakan Diandra walau belum sempurna seperti adik-adik di luar sana.
"Kamu suka gitu ngomongnya. Abang gak suka kamu ngomong gitu terus, Diandra," tegas Dika dengan nada tidak suka.
Diandra menggigit bibirnya. "Maaf. Aku cuman takut—"
KAMU SEDANG MEMBACA
PENGAMEN KEREN [END]
Teen FictionCOWOK FIKSI ITU NYATA! Kata siapa tokoh fiksi dalam cerita Wattpad tidak bisa jadi kenyataan? Buktinya, sosok gadis pecinta musik bernama Nada menemukan cowok fiksi dalam cerita Wattpad yang dibacanya dalam bentuk seorang pengamen keren yang selalu...