39. Hari Ulang Tahun Sekolah

27 10 0
                                    

Hari ulang tahun sekolah akhirnya tiba. Secerah mentari yang bersinar di pagi ini, secerah itulah suasana lapangan SMK gemintang yang telah disulap sedemikian rupa. Tenda berwarna kuning terpasang menutupi seluruh bagian lapangan. Hiasan-hiasan mewah beserta pernak-pernik terangkai rapi di setiap penjurunya. Panggung utama yang akan dijadikan tempat hiburan berdiri di megah dengan poster besar yang menggelabar bertuliskan "Muscorazzon" tema yang dipilih dalam acara pentas seni sekaligus hari ulang tahun sekolah tahun ini.

Selain perwakilan siswa dan guru, pihak panitia penyelenggara pun mengundang beberapa bintang tamu untuk mengisi acara agar lebih meriah. Di dalam aula ada bazar dari komitea kelas dan OSIS. Jadi jangan khawatir, selama acara berlangsung sekolah menyediakan bazar jika sewaktu-waktu perut terasa lapar. Nuansa serba kuning dengan bawahan hitam membalut seluruh insan yang hadir di tempat ini.

"Nah, oke mantap. Harmonisasi kalian udah terjalin. Udah, sip, perfect," puji Bu Fatma mengapresiasi kekompakan Dika dan Nada ketika berlatih di dalam ruang musik.

Dika dan Nada kompak tersenyum. "Terima kasih, Bu." Nada melirik sinis. Kenapa mereka bisa tersenyum secara bersamaan, sih?

"Ini lagunya udah fix kan? Lagu pertama Pesawat Kertas, dan lagu kedua Terlukis Indah," tanya Bu Fatma memastikan.

"Betul, Bu." Dika menjawab.

"Oke, kalau gitu nanti Ibu sampaikan ke MC-nya. Sekarang, kalian ngobrol-ngobrol dulu aja buat masuknya kayak gimana, apa yang mau disampaikan, ya. Ibu tinggal dulu." Lantas dengan begitu, Bu Fatma meninggalkan Dika dan Nada di ruang musik berduaan.

Sepeninggal Bu Fatma, suasana tiba-tiba hening. Ruangan sederhana yang menyimpan banyak peralatan musik itu hanya diisi oleh genjrengan senar gitar milik Dika. Entah mengapa canggung masih membungkus dua insan penggemar musik tersebut. Mungkin benar, sebenernya mah masih ada cinta di antara mereka cuman terhalang gengsi.

"Apa, sih, ngeliatin gue terus?!" protes Nada tidak suka Dika menatapnya.

Senyum Dika melebar hingga menampakkan gigi putihnya secara sekilas. "Siapa juga yang ngelatin."

"Modus!" Alih-alih melempar piano ke kepala Dika, Nada membawa kursi plastiknya ke pojok ruangan. Mampus, sekarang Dika tidak bisa menatapnya lagi karena Nada berada di belakang cowok itu.

"Emang gak takut kecoak duduk di belakang gitu?" sindir Dika masih asyik menggenjreng.

Nada seketika ketar-ketir. Kepalanya diam-diam menoleh guna memastikan apakah hewan berwarna cokelat itu ada di sekitarnya atau tidak. Bukan apa, Nada trauma dengan kejadian tempo lalu saat kecoak terbang nyaris menghinggapi pundaknya.

Namun, bukan Nada namanya kalau tidak gengsi. Perempuan itu mempunyai seribu satu cara untuk membentengi rasa gengsinya agar tidak lolos.

"Just info, gue udah gak takut kecoak," kata Nada dengan bangganya.

"Yakin? Ntar ada kecoak terbang lari-lari lagi."

"Sotoy lo, Dika!" Bibir Nada mencebik-cebik, mencibir cowok itu di belakang punggungnya. "Emangnya lo takut cicak. Hewan kecil begitu ditakutin. Payah!"

Dika berhenti memainkan gitar. Wajahnya seketika merona. Sumpah, dari mana Nada tahu kelemahannya? Tidak, Dika harus berakting seolah-olah tidak takut pada hewan berkaki empat itu. Bisa-bisa Nada mentertawakannya berhari-hari.

"Lo kali yang sotoy," balas Dika.

"Gengsi. Kalau takut cicak bilang aja kali, Bro!" Nada tersenyum miring.

PENGAMEN KEREN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang