10. Permohonan dan Sebuah Syarat

36 20 3
                                    

"Mbak Nada?"

Nada memberi senyumannya. "Hai, Mas Dika."

Dika mengerjapkan matanya, berharap kalau apa yang kini dia alami hanyalah sebuah mimpi. Gadis yang selama ini selalu menanyakan tentang kehidupannya, justru berdiri di depannya sebagai seorang anak SMK Gemintang.

"K-kok, Mbak bi-bisa ada di sekolah ini? Mbak jadi tukang sapu di sini?" tanya Dika gemetaran. Jujur, ia tidak pernah menyangka jika Nada adalah salah satu siswi di sekolahnya.

"Buset, cewek cantik jelita kayak gini dibilang tukang sapu. Agnes Monica aja lewat sama gue mah," gumam Nada merutuki Dika yang tega menyebutnya sebagai tukang sapu sekolahan.

"Jawab gue, Dik. Lo ngamen?" Suara Dayyan kembali terdengar. Suara yang paling tidak Dika harapkan kehadirannya.

Dika kembali menolehkan kepala ke arah Dayyan. Dia menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. "Iya, gue ngamen, Yan," aku cowok itu sambil mengangguk.

Dayyan berdesis, memijat pangkal hidungnya. "Kenapa lo gak bilang, sih, kalau lo ngamen, hah?" tanya Dayyan dengan nada tidak suka. "Kenapa lo bohongin gue, Dika?!"

"Maaf, Yan. Gue gak mau ngerepotin lo lagi."

"Sahabat macam apa lo," celetuk Dayyan pedas kemudian pergi meninggalkan Dika dan Nada berduaan. Terlihat betapa kecewanya Dayyan karena Dika tega membohonginya hanya karena kalimat "gak mau ngerepotin lo lagi". Sungguh, Dayyan benci dengan kalimat itu.

Dika menunduk. Perasaan bersalah memenuhi rongga dadanya. Betul apa yang Dayyan ucapkan. Sahabat macam apa dia ini? Yang tidak mau berbagi kisah kepada sahabatnya sendiri dan mengandalkan kalimat-kalimat klasik tersebut sebagai tameng.

"Btw, saya gak nyangka bisa satu sekolah sama Mas Ule," ujar Nada senyum-senyum malu.

"Saya Dika, bukan Ule," koreksi Dika menatap Nada intens.

"Oala. Tapi kenapa waktu itu pas ditanya siapa namanya, Mas Dika malah jawab Ule?" interogasi Nada langsung membuat Dika terdiam. "Ohhh, jangan-jangan Ule itu nama samaran, ya, biar gak ketauan orang-orang?" tebaknya.

"Sori, ngobrolnya biar enak 'gue-elo' aja, ya?" pinta Dika merasa tidak nyaman berbicara menggunakan panggilan 'saya-kamu'. Lagipula mereka sudah tahu kalau mereka itu seumuran.

Nada mengedikkan bahunya. "Oke. Kenapa tuh lo pake nama samaran buat nutupin identitas lo?"

Dengan sangat berani, Dika menjawab, "Karena lo kepo, Mbak."

Bukannya tersinggung, Nada justru tertawa. "Abisnya, sih, lo ganteng, Mas. Jadinya gue kepo deh," jujur gadis itu tanpa malu.

Tidak ada lagi yang harus Dika rahasiakan dari Nada, karena nasi sudah menjadi bubur. Nada telah mengetahui semuanya tentang Dika. Apalagi identitasnya sebagai seorang pengamen satu per satu mulai terbongkar karena kehadiran Nada di hidupnya.

"Mbak, gue boleh minta tolong sama lo?" tanya Dika penuh harap.

"Boleh dong. Mau minta tolong apa? Cetak undangan buat nikah kita? Siap, laksanakan!"

Dika mendengkus, kegilaan Nada kumat lagi. "Bukan," jawabnya jengah. "Tolong, tolong banget rahasiain identias gue sebagai pengamen dari anak-anak Gemintang, ya. Please ... gue mohon."

Apa? Tak salahkah cowok itu memohon kepada Nada?

"Emangnya kenapa?"

"Perlu gue jujur?" Nada mengangguk sebagai jawaban. "Gue malu kalau anak sekolahan sampe tau kalau gue pengamen, Mbak. Jadi gue mohon banget sama lo, tolong jaga rahasia ini dari siapa pun, ya. Please...."

PENGAMEN KEREN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang