SDS | 21 |

972 63 0
                                    

🌦️🌦️🌦️

Alda berjalan sembari mengulas senyum ke lobi kantor. Hatinya mendadak berbunga bunga pagi ini. Ya,setelah semua yang terjadi semalaman dan tadi pagi. Setelah mengucapkan kata kata bius itu,Haidar semakin memperlakukannya bak seorang putri. Menyiapkan makan,membantunya duduk,menyuapinya bahkan membelikannya pembalut setelah enam tahun dirinya tak mengenakan pembalut sama sekali.

Alda sempat bingung dan lupa saat Haidar mengirim foto pembalut mana yang harus ia pilih waktu di minimarket. Alda memilih pembalutnya asal dan terjadilah kesalahan dalam membeli. Pembalutnya kepanjangan. Tapi tak apa,Alda tetap memakai pembalut itu dan tidak protes pada Haidar jika pembalutnya terlalu panjang,toh dirinya juga yang memilih sendiri.

"Selamat pagi". Sapanya pada receptionis yang sudah standbay di lobi. Perempuan itu hanya mengulas senyum sembari mengangguk lembut.

Hari ini adalah jadwalnya ke pengadilan untuk mendampingi Bu Riana mediasi dengan suaminya dan ia berharap mediasi pertama berhasil dan keduanya memutuskan untuk tidak bercerai. Sebelum ke pengadilan,Alda berniat ke ruangan Gege dulu untuk menanyakan kesepakatan jika mediasi pertamanya berhasil. Akan di anggap kerjanya bagus,atau justru gagal karena terlalu singkat menangani kasus.

Tok tok tok . . .

Kini Alda sudah berdiri di depan ruangan Gege,setelah mengetuk pintu,tak lama sang pemilik ruangan mempersilahkan dirinya untuk masuk.

"Selamat pagi Pak". Salam Alda setelah masuk ke dalam. Ia pun berdiri tegap sembari membungkukkan badan.

"Pagi Alda,silahkan duduk".

"Saya ingin menanyakan sesuatu,sebelum saya berangkat ke pengadilan". Ujarnya sembari duduk di depan Gege.

"Sebelum bertanya,saya ada informasi penting untuk kamu". Jawab Gege.

"Ya Pak,informasi apa?".

"Bu Riana ingin mencabut gugatan cerainya,dan kamu di minta ke pengadilan untuk mengurus surat pencabutannya".

Mendengar pengakuan Gege membuat Alda terdiam cengo'. Agak kaget dengan pernyataan Gege barusan.

"Ha? Kenapa di cabut Pak?". Tanyanya setengah tak percaya.

"Katanya kemarin kamu menyadarkan dia dan suaminya. Dan beliau merasa tersadar dengan nasihatmu. Apa kamu sebelumnya mengambil jurusan psikolog apa psikiater gitu?".

Alda mengingat kejadian kemarin,saat Bu Riana kembali ke ruang tamu lagi dengan membawa bekal suaminya yang ketinggalan.

"Kalau saya jadi Ibu,saya akan menyesal karena telah menceraikan Bapak. Bapak begitu mencintai Ibu,menerima dengan senang hati bekal yang Ibu masakin. Kalau Bapak mau,Bapak bisa makan di luar bersama rekan kerjanya untuk menaikkan gengsi. Nyatanya Bapak tidak gengsi sama sekali. Ini hanya perihal materi Bu,uang bisa di cari sekeras yang ibu mau,tapi keluarga yang utuh dan harmonis suatu saat akan ibu rindukan. Jika Ibu dan Bapak tua, apa nggak akan bikin anak anak bingung mau mengurus yang mana dulu? Sedangkan kalian berdua pasti tinggal terpisah? Anak anak juga pasti ingin orang tuanya utuh,di saat banyak orang tua yang memilih berpisah karena ego masing masing.

Bapak pasti akan paham,bagaimana sifat Ibu dan kebutuhan Ibu. Bapak pasti mengerti,jika Bapak ingin Ibu di rumah,Bapak juga harus memaklumi dan lebih ekstra dalam memberi uang bulanan untuk belanja Ibu. Begitu kan beres? Saya ini pengantin baru,suami saya empat tahun di bawah saya,dan beliau hanya bekerja di konveksi sembari kuliah. Tapi kami berkomitmen untuk tetap saling mencukupi,melengkapi apapun keadaanya". Ucapnya panjang lebar sembari mengulas senyum masam. Alda ingat sekali,di bagian kalimat terakhir ia menyematkan kalimat kebohongan.

SUAMI DARI SURGA (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang