Menutup Mata Agar Tidak Menyadari Yang Sebenarnya
.
.
.
Veya keluar dari kamar mandi setelah selesai buang air kecil, ia tersenyum canggung saat pandangannya bertemu dengan Rali, begitupun sebaliknya.
Untuk mengurangi kecanggungan di antara mereka, ia pun duduk di kursi sebelah brankar lalu menawari Rali makan buah. "Engh ... kamu mau buah apa? Saya kupasin."
Rali beralih menatap keranjang buah yang dibawa Veya tadi, lalu menunjuk buah apel. Kemudian tersenyum geli, merasa lucu karena Veya bersikap formal padahal mereka seumur bahkan pernah satu sekolah.
"Gak usah kaku banget. Kita pernah satu sekolah, kan? Seumuran?"
Veya mengangguk, sejenak menatap Rali lalu kembali fokus mengusap kulit apel.
Mata Rali menangkap cincin yang tersemat di jari manis Veya. "Kapan lo dan Sadam nikah?"
Veya kembali mendongak, menghentikan gerakan tangannya mengupas kulit apel. "Kalau gak ada hambatan, dua bulan lagi."
Rali tersenyum kecil lalu menunduk untuk melihat tangannya. Tidak ada cincin di jari manisnya. Malah tangannya terbalut perban. "Gue juga pengen rasain dipasangin cincin sama orang yang gue cintai."
Kembali lagi Veya menatap Rali yang berwajah muram. Menatap sendu tangannya.
"Pasti lo bakal rasain, Ral."
Keduanya saling bertatapan dan tersenyum tipis.
Baru kali ini Rali berbincang hangat dengan seorang wanita yang seumuran dengannya. Rali tidak memiliki teman selain Romero. Ia selalu ingin memiliki teman seorang wanita, tapi ia pandai bergaul.
"Tapi ... kapan? Gue mau sekarang."
Veya terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut, "Ral, semuanya butuh proses. Apa yang lo rasakan saat ini ... sakit, nantinya akan tergantikan, lo jauh lebih bahagia."
"Tapi ... tapi ... bahagia gue sama Romi, Vey."
Rali tidak tau kenapa mencurahkan isi hatinya pada Veya. Mungkin ia butuh teman bicara. Dan sepertinya Veya juga bukan orang yang ember bocor. Seperti yang dikatakan Romero, jika Veya dan dirinya sebelas duabelas.
"Ral..." Veya menyentuh tangan Rali yang tidak diperban. "Gue pun pernah meyakini diri gue kalau bahagia gue tuh sama seseorang yang menemani gue selama empat tahun. Tapi, dia nyakitin gue. Dia selingkuh bahkan nyalahin gue. Katanya karena gue gak mau putusin dia, makanya dia milih selingkuh."
Veya menghela nafas panjang sejenak. "Dan gue bersyukur patah hati gue disembuhin Sadam. Padahal gue sempat mikir gak bakal pernah bahagia, karena gue kira kebahagiaan gue cuma seseorang itu. Itu gak bener karena bahagia gue, yaitu Sadam. Orang yang gak pernah gue sangka-sangka."
Rali tertegun mendengar kata demi kata yang terlontar dari Veya.
Apa yang dikatakan Veya ada benarnya. Jika ia meyakini diri bahwa bahagianya hanya pada Romero. Hanya bersama Romero ia merasa bahagia, jika bersama orang lain ia tidak merasakan hal tersebut. Membangun harapan akan bahagia hanya dengan Romero.
"Hapus rasa yakin lo tentang bahagia lo cuma sama Romero. Gue yakin lo bakal dapet yang lebih baik. Banyak kan cowok di luar sana?"
"Ya, banyak banget."
Keduanya tertawa bersama. Rali merasa lega. Akhirnya ia menemukan teman wanita yang mampu menenangkan dirinya dan memberinya nasehat layaknya seorang sahabat. Sebaik-baiknya bersahabat dengan seorang pria, akan jauh lebih baik bersahabat dengan seorang wanita. Karena mereka dapat mengerti apa yang dirasakan. Pun memiliki pengalaman yang bisa dibagikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
EXONERATE
Literatura Feminina[series3] #PROJECT 3 ___________ ⚠️21+ EXONERATE : "Bebas dari segala beban hidup yang selama ini dirasakan". __________ Copyright ©2021, NanasManis start [20/2/21] end [5/5/21]