34

8.9K 712 14
                                    

Hadapi, Jangan Dilawan. Itu Hanya Membuatmu Terluka [2]

.

.

.

Dengan pelan Rainer mengetuk pintu berwarna putih tersebut lalu membukanya menatap dua perempuan beda usia yang saat ini menatapnya dengan alis bertaut heran. Dengan senyum tipis ia berujar, "May I come in?"

Rali dan Belva saling menatap sejenak lalu kembali menatap Rainer.

"Of course Papi." Belva yang menjawab. Meski ini bukan kamarnya dan ia tidak mengerti arti tatapan Rali yang enggan membiarkan Rainer masuk.

"Belva, udah mainnya, ya? Papi mau ngobrol dengan Kak Rali dulu."

Belva sontak merengut, kegiatannya yang bermain game di Ipad miliknya bersama Rali terhenti. "Papi."

"No Baby! Besok kamu sekolah. Jadi, sekarang masuk kamar!" ujar Rainer lembut, namun tegas.

Belva pun mengangguk lesuh, turun dari tempat tidur yang di bantu Rali. Tidak lupa ia memeluk Ipad.

"Main piano bentar, boleh?" Belva masih ingin bernegosiasi, ia mendongak menatap memelas Rainer yang sontak menggeleng.

"No! Besok saja. Kan besok Miss Meera datang."

Setelahnya Rainer memanggil pengasuh Belva, menyuruh agar menemani Belva tidur di kamarnya. Lalu ia menutup pintu kamar Rali, kembali menatap keponakannya itu yang melengos merebahkan tubuh sembari membelakangi dirinya.

Rainer menghela nafas pelan. Sudah tiga hari Rali merajuk, enggan keluar dari kamar. Bahkan semangatnya yang menggebu-gebu ingin belajar bisnis, lenyap seketika setelah pertemuan mendadak dengan Hadyan.

"Rali..."

"Aku gak mau bicara sama Om!" sentak Rali. Suaranya teredam selimut karena ia membungkus tubuhnya.

"Terus itu apa kalau kamu gak mau ngomong sama Om?" Rainer tertawa geli hingga berhenti saat Rali melemparnya bantal.

"Rali! Don't be a rude woman. I am your uncle not your friend!" Rainer seakan menasehati Belva. Berujar begitu tegas. Lalu ia menghela nafas pelan. Memilih duduk di tepi tempat tidur Rali. "Sorry Darl. I know it's sudden, I thought you would like it."

Rainer merasa bersalah. Ia pun menyadari jika Rali bukan Belva. Gadis kecilnya yang akan senang jika bertemu dengannya setelah tidak lama berjumpa. "Harusnya kita diskusi dulu. Ini salahnya Om."

"Kenapa Om lakuin ini?"

Rainer bisa mendengar suara Rali yang gemetar. Walau wanita itu menahannya sekuat tenaga. "I..."

"Om mau ngusir aku kan biar gak ada ledekin Om lagi karena ngecengin guru les pianonya Belva?!"

Rainer melongo, ia menatap tidak percaya Rali yang kini beringsut duduk. Puncak hidung wanita itu memerah. Kedua pipinya lembab karena bekas air mata.

"Kok kamu berpikiran seperti itu? Of course not! Om cuma mau memperbaiki hubungan kalian. Sudah bertahun-tahun, Ral. Umur gak ada yang tau, apalagi Daddy kamu sudah tua."

"Om ngaca!"

Rainer mendengus pelan. "I was only thirty eight years old."

"Dan seharusnya Om kembali ngaca. Guru Belva masih muda banget. Aku bahkan lebih tua dari dia!"

EXONERATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang