32

8.4K 697 20
                                    

Tidak Akan Lagi, Tidak Akan Pernah

.

.

.

Dengan tangan gemetar, Rali memegang pisau cutter tersebut, lalu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Jika ia melukai bagian tubuhnya, maka pengobatannya selama beberapa bulan ini tentunya sia-sia.

Tatapannya tertuju pada punggung tangannya, di sana terdapat tato tulisan.

Menghela nafas pelan, ia menaruh pisau cutter tersebut di atas meja rias lalu duduk lemas di kursi.

Berusaha menenangkan dirinya, mengalihkan pikiran yang ingin menyuruhnya untuk melukai diri.

Ia tertawa miris saat mengingat momen demi momen antara dirinya dengan Harsa.

Pria itu....

Pria yang melepaskannya dari kesedihan, tapi malah kembali menjemuruskannya.

Sungguh, Rali menyangka jika Harsa mampu membuatnya lepas dari segela beban hidup yang ia rasakan selama ini. Karena ia merasa nyaman dan merasa hidup di sisi pria itu.

Namun, ternyata pria itu malah semakin membuatnya terbebani. Menorehkan luka tak kasat mata yang begitu menyakitkan.

Segera ia meraih ponsel, menghubungi sosok yang mungkin dapat menenangkannya.

Karena tidak mendapat respon, maka ia mengunjungi sosok itu.

Sesampainya di rumah sakit. Richel yang telah membalas pesannya, menyuruhnya untuk menunggu lebih dulu.

Karena waktu praktek Richel telah usai, hingga ia tidak bisa melakukan konsultasi lagi, tapi wanita itu bersedia menemuinya layaknya seorang teman.

"Hai!" sapanya dengan suara lembut membuatnya berdiri, menyapa balik wanita ayu tersebut.

"Hai. Bener Dokter Richel gak sibuk?"

"Enggak kok Ral. Jam praktik saya sudah selesai. Jadi, kamu mau ngobrol di mana?"

Rali terdiam. Ia tidak tau harus mengobrol di mana.

Mereka diinterupsi oleh asisten Richel yang mengatakan jika Richel dipanggil salah satu dokter senior. Jadi, Richel menyuruh Rali menunggu lagi. "Maaf ya Rali? Gak pa-pa kan kalau kamu nunggu?"

"Gak pa-pa Dokter."

Rali kembali duduk di bangku besi tersebut., menunduk.

Matanya teralihkan di pergelangan tangannya yang terdapat bekas luka yang telah mengering. Dengan pelan ia menaikkan kardigan hingga batas lengan, memperhatikan bekas lukanya.

Setiap bekas luka yang terdapat di tubuhnya, ia ingat kenapa bekas luka itu muncul. Kenapa ia menggores kulitnya hingga mengeluarkan darah. Alasan ia melakukan hal tersebut untuk menjadi pengingat siapa saja yang telah menyakitinya. Beranggapan jika bekas luka tersebut adalah hasil dari seseorang yang menyakitinya.

Menghela nafas panjang, ia menurunkan kembali lengan kardigan hingga menutupi semua bekas lukanya. Beralih pada tato yang berada di punggung tangan sisi bawah ibu jarinya.

B R E A T H E

Sengaja menggambar tato di sisi tersebut dengan tulisan tersebut agar ia selalu senantiasa mengingatkan diri untuk bernafas.

"Rali..." Panggilan ragu tersebut membuatnya menegakkan kepala, menatap Romero. Sosok yang pernah menjadi pusat hidupnya.

Pertemuan terakhir mereka dapat dikategorikan baik, sehingga Rali menyunggingkan senyum tipis membuat pria kalem tersebut tersenyum lega.

EXONERATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang