Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Andrea menangis sejadi-jadinya. Rasa hangat yang seharusnya didapat ketika di rumah justru berbanding balik dengan kenyataan. Semuanya terasa dingin. Semua hal yang didapat setelah ibunya pergi terasa hampa dan tidak hangat lagi.
Padahal, ibunya bukan sosok ibu yang baik karena lebih memilih pergi meinggalkan dirinya dan sang ayah demi cita-citanya yang ingin menjadi professor muda di usia awal kepala tiga.
Iya, Andrea tahu kalau alasan kenapa orang tuanya bercerai karena ayahnya menentang ibunya yang ingin melanjutkan S3 di Amerika.
Entah apa yang ada dipikirannya sampai-sampai rela meninggalkan keluarga demi gelar yang tidak akan bisa menemani dan menghiburnya di masa tua.
Andrea yang sangat pintar tentu dapat mengerti keadaan dengan cepat dan mulai membenci ibu kandungnya. Sehingga dia menolak bertemu dengannya dan tidak mau lagi berhubungan dengannya meskipun hanya melalui sosial media.
Joanna adalah sosok ibu yang sangat sempurna pada awalnya. Karena dia tidak hanya pintar dan selalu menjadi panutan bagi Andrea. Namun dia juga selalu dielu-elukan setiap orang termasuk seluruh pekerja di rumah.
Setiap hari selalu saja ada perkataan orang yang memuji kebaikan Joanna. Entah telah karena dibantu secara finansial maupun yang lainnya.
Andrea juga tahu kalau ayahnya begitu mencintai ibunya. Bahkan, dia menerapkan peraturan no privacy diantara mereka dengan cara membuat sandi ponsel yang sama. Itu sebabnya dia tahu apa kode akses ponsel ayahnya yang tidak pernah diganti sejak dulu hingga sekarang.
Iya, apalagi tujuannya kalau bukan untuk mengakses ponsel Joanna yang memang setiap hari selalu ramai oleh para mahasiswa yang diajar karena dia bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Bahkan, Andrea kecil sudah terbiasa melihat ayahnya yang suka bermanja-manja dengan ibunya. Bagaikan dua kubu magnet berlawanan yang sangat susah dipisahkan. Mereka selalu saja berdua di setiap sisi rumah maupun di luar rumah.
Sampai akhinya hari itu datang. Hari di mana Andrea harus mendengar ucapan dari bibir tipis ibunya bahwa dia dan ayahnya akan berpisah. Berpisah dan tidak akan pernah bisa kembali bersama seperti sebelumnya.
Andrea 11 tahun sudah mengerti apa maksud ibunya. Apalagi kalau bukan perceraian? Karena dia sudah sangat sering mendengar dan paham kata itu dari televisi maupun teman-temannya.
Andrea sama sekali tidak menangis. Karena saat itu ibunya juga terlihat tegar dan sama sekali tidak sedang menahan tangis. Justru dia tidak berhenti tersenyum manis, seperti di hari-hari biasa. Seolah sedang tidak ada hal buruk yang sedang terjadi. Seolah dia sedang menikmati hal ini. Berbeda dengan ayahnya yang hanya bisa menunduk dan menahan tangis.
Andrea mau ikut Mama atau Papa? Kalau ikut Mama, Andrea akan jarang mendapat perhatian dan harus masuk asrama karena Mama juga harus belajar. Kalau ikut Papa, Andrea bisa tetap hidup seperti sekarang. Sering diperhatikan dan tetap tinggal di rumah. Tugas Andrea cukup belajar, tidak perlu memasak dan mencuci pakaian seperti di asrama.
Andrea 11 tahun yang sangat pintar tentu lebih memilih tinggal bersama ayahnya. Dia tidak mau hidup menderita bersama ibunya yang sangat egois menurutnya. Egois karena terlalu berambisi mengejar gelar dan meninggalkan keluarga.