Dari bandara menuju rumah sakit tempat Jeno dirawat, Jeffrey tidak kunjung merasa gelisah. Entah karena apa, sebab degub jantungnya tidak berhenti berdebar hingga membuatnya hampir beberapa kali menabrak pengendara lain di jalan.
Padahal, Jeffrey sudah berusaha merelakan semuanya. Merelakan kepergian Joanna dan Andrea demi kebahagiaan mereka. Mencoba berdamai dengan keadaan dan bersikap baik pada Jeno dan Isla.
Bahkan, Jeffrey akan dengan senang hati mengizinkan Andrea jika ingin tinggal bersama ibu kandungnya.
Sebab, dari Joanna Jeffrey belajar satu hal.
Bahwa semakin erat sesuatu kau genggam, maka akan semakin mudah sesuatu itu menghilang.
Seperti hukum alam, ketika Jeffrey yang dulu sangat posesif pada Joanna. Dimulai ketika Joanna melamar pekerjaan dan selalu dihalang-halangi olehnya, kemudian tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan laki-laki lain kecuali ada dirinya. Jangankan bertemu, membalas pesan dan mengangkat telepon dari laki-laki lain selain saudara saja Jeffrey melarang.
Bahkan, Joanna bekerja di sekolah luar biasa yang diam-diam Jeffrey dirikan agar istrinya tidak bosan karena selalu dikekang. Tentu saja dengan catatan tidak boleh ada pekerja pria di sana.
Entah itu cinta atau obsesi semata. Namun yang jelas, Jeffrey merasa benar-benar takut kehilangan Joanna. Sosok yang menurutnya sangat sempurna untuk menjadi teman hidupnya.
Namun sayang, pernikahan mereka hanya bertahan hingga 10 tahun saja. Karena kecerobohan Jeffrey yang ingin sedikit bersenang-senang tanpa pengaman.
Sebelum melakukan itu, Jeffrey sudah memikirkan baik buruknya. Dia mengira bahwa istrinya mungkin hanya akan mendiamkan dirinya lebih dari satu bulan. Tidak sampai meminta berpisah dan membuat cerita seolah-olah bukan dirinya yang bersalah sehingga membuat rasa bersalahnya menjadi berlipat-lipat.
2 minggu kemudian.
Seperti biasa, malam ini Andrea tidur ditemani ibunya. Kemudian Malvin tidur bersama Johnny di kamar utama.
"Satu minggu lagi kamu sudah mulai kuliah. Besok belanja perlengkapan dengan Mama, ya? Sekalian cari kosan atau apartemen saja. Papa Johnny punya banyak kenalan. Nanti Mama pilihkan yang paling nyaman dan Andrea suka."
Andrea yang sedang memeluk Joanna tampak melonggarkan pelukan. Perlahan dia mulai memundurkan badan agar bisa menatap wajah ibunya lebih jelas.
"Ma, kalau Andrea mau tinggal di sini saja bagaimana?"
Tanya Andrea takut-takut, karena sudah pasti ibunya melarang karena jarak kampus dan rumah ini cukup jauh. Ya, meskipun hanya satu jam. Namun tetap saja, Joanna mengatakan itu kurang efektif sebab Andrea harus mengorbakan banyak waktu di jalan, belum lagi ketika ada macet di jalan.
"Andrea, nanti kamu kelelahan di jalan..."
"Andrea masih ingin bersama Mama, Andrea masih ingin terus bertemu Mama. Ma, sejujurnya Andrea belum siap kuliah sekarang. Selama ini Andrea sengaja belajar lebih keras supaya bisa membuat Mama terkesan. Supaya Mama bisa kembali membawa Andrea karena Andrea layak untuk Mama ajak hidup bersama. Tapi sekarang, Andrea sudah bersama Mama. Andrea sangat bahagia, Ma. Selama dua minggu ini Andrea bahkan tidak percaya bisa membuka mata dan melihat Mama tidur di samping Andrea. Mencium aroma Mama dan memeluk Mama seperti tadi. Ma, Andrea... "
Joanna langsung memeluk Andrea erat-erat, air matanya mengalir perlahan. Dia benar-benar merasa bersalah karena telah mengira bahwa Jeffrey akan merawat Andrea dengan baik tanpa dirinya.
Sebab segala prestasi membanggakan Andrea yang sering dilihat dari berbagi portal berita yang dikira dari hasil kerja keras Jeffrey dan Isla dalam mendidik Andrea ternyata salah besar.
"Besok Mama akan ke kampusmu. Mama akan bernegoisasi dengan pihak kampusmu agar mereka tidak mempermasalahkan hal ini dan mem-blacklist SMA-mu. Sayang... maafkan Mama. Maafkan Mama karena telah membuatmu menderita terlalu lama. Tidak apa-apa, gap year tidak masalah. Ambil waktu sebanyak-banyaknya sampai Andrea benar-benar siap."
Andrea mengangguk cepat, lagi-lagi dia hanya bisa menangis dalam diam sembari memeluk ibunya erat-erat. Menghirup aroba tubuh ibunya yang masih saja menjadi bau kesukaannya dari dulu hingga sekarang.
Masih di Surabaya. Malvin tiba-tiba saja merasa haus sekarang. Perlahan pelukan Johnny dilepas karena ingin mengambil air di atas nakas.
Malvin melihat ada ponsel ibunya yang ditinggal di sana. Malvin yang pintar tentu saja sudah bisa mengoperasikan ponsel ibunya yang memang memakai sandi tanggal lahirnya.
"Halo? Papa?"
Andrea? Ini tengah malam, ada apa? Kamu kangen Papa? Kenapa pakai ponsel Mama? Ponselmu kenapa?
Malvin diam saja, dia tidak menjawab dan hanya tersenyum senang ketika melihat wajah mengantuk Jeffrey yang sudah terpampang di layar.
Mas, siapa? Nanti Jeno bangun, suaranya jangan keras-keras.
Senyum Malvin memudar ketika layar ponsel ibunya mulai menampilkan anak kecil seumuran dirinya yang sedang tidur sembari memeluk lengan Jeffrey, ayah kandungnya.
Dengan gerakan cepat Malvin mematikan panggilan, beringsut merebahkan diri dan memeluk Johnny sembari mengeluarkan air mata. Sebab rasa iri tiba-tiba saja datang dan mengalihkan rasa hausnya.
Malvin anak baik! Malvin tidak boleh iri! Iri itu tidak baik! Kata Mama Malvin tidak boleh jadi anak yang tidak baik!
Batin Malvin sembari berusaha memejamkan mata, namun air matanya tidak kunjung berhenti mengalir dan sedikit membasahi lengan ayah tirinya.
Kalo jadi Malvin, apa yang kalian lakuin pas ketemu Jeffrey lagi?
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
PARENTLESS [ END ]
Storie breviParentless it means having no parent or parents or not cared for by parent surrogates.