11. Ngidam adalah Mitos

51 1 0
                                    

Seketika napasku tercekat. Aku menatap Kiran dia juga balas menatapku dengan terkejut dan mulut melongo. Aku kehabisan kata-kata

"mmm sebaiknya..."sebenarnya aku tidak tahu harus berucap apa.

"jika kalian bertemu Kavi tolong beritahu aku" ucap perempuan itu dengan tatapan sendu. Dia seperti akan menangis. Aku segera mengambil tisu dari dalam tasku. Kuberikan padanya.

"iyaa berikan nomor ponselmu padaku" aku menyerahkan ponselku. Lalu setelah dia mengetikkan nomor ponsel, aku mengirim pesan untuknya. "itu nomorku. Kau bisa simpan"ucapku.

"terimakasih" setelah dia mengucapkan terimakasih, dia pergi. Tinggal aku dan Kiran yang diselimuti kebingungan.

Aku masih bengong menatap kepergian perempuan dengan jaket super besar itu. Kiran menghabiskan jus apelnya dengan sekali tenggak.

"Kavi belum dewasa. Apa dia bisa menjadi ayah yang baik ?" tanya Kiran dengan polosnya. Tapi ada benarnya juga ucapan dia.

"ya mau bagaimana lagi. Tuhan lebih memberi kepercayaan Kavi untuk merawat anak itu. siapa tahu dengan adanya anak itu Kavi bisa sadar dan menjadi lebih dewasa"

Kiran mengangguk "apa kita susul sekarang saja Kavi ke perpus ?"

"tunggu dulu" aku menahan tangan Kiran.

"kita harus apa ?"

"sebentar lagi UAS, dan Kavi masih banyak tugas yang tidak bisa di tinggalkan"

"tapi perempuan itu butuh Kavi"

"iya aku tahu. Bagaimana kalau sementara kita saja yang menggantikan Kavi ?"

"maksutmu kita menjadi ayah sementara ? aku tidak mengerti El"

"yang harus dilakukan suami ketika istrinya hamil dua bulan adalah mengantarnya ke Dokter, memberikan jaminan makan, minum, vitamin dan kesehatan. Kita lakukan itu untuknya sementara Kavi fokus dengan kuliah sampai selesai UAS. Jika kavi tahu masalah ini sekarang bisa jadi kuliahnya berhenti. Kavi belum mandiri secara financial, apa kau tidak kasihan dengan nasib masa depan anak dan istri kavi. Biarkan dia menyelesaikan UAS dulu lalu setelahnya biar Kavi menyusun rencana yang matang, entah cuti dulu atau Kavi kerja sambilan atau apalah itu. setidaknya kuliah satu semester ini tidak sia-sia untuknya. Bagaimana ?"

Kiran diam sesaat. Ia memikirkan setiap perkataanku.

"lalu jika perempuan tadi marah bagaiamana ? jika dia bersikukuh ingin bertemu Kavi ?"

"kita bilang saja jika Kavi yang meminta kita mengurusi segala keperluan sementara Kavi masih sibuk"

"aduuuh Kavi kenapa tidak dipikirkan dulu sih akibatnya sebelum berbuat. Yasudah aku setuju saja El"

"mungkin khilaf" aku memberikan senyum canggung.

............................................................................

Matahari sudah tenggelam. Aku merebahkan diri di kamar memegang ponsel. Aku baru saja mengirimkan pesan untuk perempuan tadi yang menemuiku di kantin. Sesaat kemudian dia menelfonku. Seketika aku bangun untuk menerima telfon.

"halo" sapanya lebih dulu

"iya halo, bagaimana keadaanmu ?"

"aku baik-baik saja. Apa kau sudah bertemu Kavi ?"

"sudah. Dia bilang dia senang atas kehamilanmu, tapi keadaannya sekarang belum memungkinkan untuk bertemu. Dia memintaku dan Kiran untuk merawatmu dulu" ucapku sedikit ragu.

"benarkah dia senang ?" suara perempuan itu terdengar antusias.

"ya tentu. Hehe"

"tapi kenapa dia tidak menerima telfonku ?"

academic adventuresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang