23. Perang dingin

26 1 0
                                    

Aku tahu Bhale kesal padaku. Dia pasti marah karena Aku mengacaukan pendapatnya di depan Bu Nidia dan setelahnya Aku malah memarahi Dia. Tapi kurasa apa yang kulakukan benar. Ini hanya masalah Kita berdua beda pendapat saja. Aku tidak mau mengalah ataupun meminta maaf, itu sama saja aku menyetujui pendapatnya mengenai Bu Nidia. Aku hanya perlu diam saja sampai masalah ini memudar sendiri. Biar saja, nanti jika Bhale membutuhkan sesuatu pasti dia akan bicara. Aku tidak akan bicara lebih dulu yang jelas.

Kami berdua menyelesaikan label buku ini tanpa saling bicara sepanjang hampir satu jam. Astaga masih satu jam, aku kira sudah empat jam dan waktunya pulang. Kenapa setiap detiknya terasa lama dan berat. Aku jadi merasa sedikit pusing dengan pikiranku. Aku melirik Bhale, dari tangannya yang memegang buku lalu naik perlahan memandang matanya. Dia tidak memandangku ataupun melirik. Dia fokus dengan pekerjaannya. Oke aku juga akan fokus dengan pekerjaanku. Sepertinya tidak ada tanda-tanda salah satu dari kami melakukan gencatan senjata.

Aku meletakkan kertas yang kupegang lalu berdiri meninggalkan ruangan. Aku melangkah ke toilet. Di dalam toilet aku membasuh tangan dan wajahku. Hah aku bisa bernapas lega sekarang. Suasana di dalam gudang semakin mencekam dan itu menyeramkan. Tapi aku jelas tidak mau mengalah. Sekali-kali Bhale harus diajari cara mengalah dan menghargai pendapat orang lain. tidak selamanya apa yang dia katakan itu benar. Meskipun aku tahu ada benarnya juga apa yang dikatakan Bhale. Tapi kali ini aku hanya ingin dia lebih dulu mengalah, dia harus menurunkan keegoisan dalam dirinya yang sudah mendarah daging.

Aku kembali ke gudang. Bhale masih tidak mau memandangku atau berkata apapun padaku. aku langsung duduk jauh darinya dan kembali memotong kertas label. Pekerjaan kami selesai juga pada akhirnya. Pekerjaan yang lama dan terasa berat. Aku dan Bhale masih tidak bicara satu sama lain ketika kami berdua menata buku kembali ke dalam kotak kardus. Tapi sikap kami seolah bicara karena kami menyesuaikan diri dalam diam. Aku duduk mengambil buku di lantai lalu menyerahkan padanya yang berdiri untuk di tata di dalam kardus. Jadi tidak ada diantara kami yang bergantian membungkuk mengambil buku lalu berdiri lalu membungkuk lagi. Kerja sama ini kami lakukan dalam diam tapi berjalan lancar.

Setelah beres, kami berjalan ke meja Bu Tini untuk melaporkan pekerjaan kami. Aku melangkah lebih dulu sedangkan Bhale berjarak di belakangku jauh. Sepertinya perang dingin ini masih berlanjut. Aku masih bersikeras membuat dia mau mengalah.

Sampai di meja Bu Tini, aku tidak melihat beliau. Bahkan kuperhatikan meja kerja beliau sudah rapi. Kurasa ini belum waktunya staf diperkenankan pulang. Semua staf bisa pulang pukul empat sore sedangkan yang menjaga sampai malam hanya dua petugas yang bergilir. Ada waktu tiga puluh menit lagi untuk pulang dan Bu Tini sudah tidak ada. Aku bertanya kepada staf lain yang berada di samping meja Bu Tini.

"permisi, apakah anda melihat Bu Tini ?" tanyaku, dan Bhale sekarang sampai di sampingku. Aku tahu dia memberikan tatapan bingung karena tidak melihat Bu Tini.

"Bu Tini sudah pergi sejak tadi. Karena sudah ada yang menggantikan pekerjaan beliau makanya beliau bisa pergi. Sepertinya Bu Tini pergi ke pesta pernikahan temannya" ucap petugas itu.

Tunggu, Bu Tini meminta aku menggantikan pekerjaan beliau agar beliau bisa pergi ke pesta pernikahan. Aku tidak bisa menahan kepala dan mataku untuk tidak melihat ekspresi Bhale. Pfft aku menahan senyum. Aku ingin tertawa saat itu juga. Bhale membela mati-matian Bu Tini tapi Bu Tini malah menghianatinya. Rasanya seperti aku baru saja menang telak.

Bhale membela pekerjaan Bu Tini, sedangkan Bu Tini hanya menggunakan aku dan Bhale sembari ke pesta pernikahan. Tidak ada hal yang mendesak dalam tugas Bu Tini. Seharusnya Bhale mengikuti kata-kataku dimana aku memahami maksut dari Bu Nidia untuk memilih prioritas dalam pekerjaan tapi Bhale malah menuduh Bu Nidia rasis dan mengira Bu Nidia berpikir hanya tugasnyalah yang penting dan tugas orang lain tidak penting. Seharusnya Bhale tidak perlu berpikir negatif tentang Bu Nidia jika belum tahu kebenarannya. Sejauh ini menurutku apa yang dikatakan Bu Nidia adalah benar hanya saja posisiku tidak ada wewenang untuk menolak permintaan dari Bu Tini.

"kalau begitu terimakasih, kami permisi" aku berpamitan kepada staf tersebut. Bhale berjalan lebih dulu ke loker. Dia sepertinya menjadi lebih kesal lagi. Aku hanya bisa menahan tawa di belakangnya.

Sampai di loker, aku terbahak-bahak.

"aku tidak menyesali ucapanku, aku tidak akan menarik kata-kataku" ucap Bhale dengan manatapku tajam.

"tapi Bu Tini pergi ke pesta pernikahan" aku bicara sambil tertawa.

"ini hanya situasinya saja yang keliru, tapi ucapanku tadi benar, semua pekerjaan itu penting tidak bisa dibanding-bandingkan. Dengan begitu kau bisa menghargai pekerjaan orang lain. jika kau tidak ingin membantu pekerjaan Bu Tini kau bisa pergi" Bhale membanting pintu loker miliknya, kemudian menguncinya dengan kasar.

"ya aku tahu, tapi kau juga tidak bisa menuduh Bu Nidia begitu saja. Aku bersedia membantu Bu Tini tapi ucapan Bu Nidia tidak salah, aku pikir jika ingin membantu ya bantu saja tidak perlu menyakiti Bu Nidia dengan perkataan kasar" aku mengambil tas milikku dan bergegas menyusulnya.

"aku bukan menuduh, aku hanya... membaca situasi. Kita harus peka dengan sekitar"

"itu masih hipotesis, kau harus melakukan berbagai kajian sebelum menyimpulkan" aku masih bisa mengatur nada bicaraku tetap santai.

Bhale berjalan mendahuluiku ketempat parkir. Kurasa dia masih kesal, denganku dan dengan keadaan yang tidak berpihak padanya. Motorku terparkir tidak jauh dari miliknya. Oke aku tidak perlu mengucap salam perpisahan ketika kami pulang. Situasi hatinya sedang tidak baik jadi hal itu juga tidak berguna sepertinya. Aku menyalakan motorku. Ini tidak mau menyala. Aku mencobanya lagi, berulang ulang dan tetap tidak menyala. Aku mulai panik, pasalnya aku tidak mengerti cara memperbaiki motor. Aku mengambil ponsel untuk menelfon Kak Noah.

"minggir !" Bhale muncul di sampingku. Aku baru ingat jika Bhale masih disini, kukira dia sudah pulang lebih dulu.

"minggir bukan bengong" aku terkejut dan segera menuruti perintahnya untuk minggir dari motorku sendiri. Bhale menaiki motorku dan mencoba menyalakannya berulangkali. Sama saja tetap tidak bisa. Apa dia mau menolongku meskipun masih marah ?.

"kuantar kau pulang, motor ini urus besok saja" Bhale turun dari motorku.

Aku belum memberinya jawaban, aku ragu dengan tawarannya. Disisi lain Kak Noah juga belum menjawab telfonku. Aku berencana menelfon ayahku.

"kuantar kau pulang" kali ini ucapan Bhale meninggi.

"tidak perlu, aku bisa sendiri" aku tidak mau kita berdua saling menyiksa diri karena berdekatan diatas motor yang sama dengan emosi yang menguasai. Pasti sangat tidak nyaman.

Bhale menarik tanganku untuk mendekati motor miliknya. "naik" perintah Bhale.

"aku bisa sendiri. Kau tidak perlu bertanggung jawab menolongku, atau kau tidak sedang berhutang budi apapun padaku. jadi berhenti memaksa"

"kau akan terus mengganggu pikiranku jika aku membiarkanmu. Sekarang naik" dia lebih memaksa lagi.

Akhirnya aku menurut saja, menjaga agar tidak terjadi perdebatan lebih hebat lagi. Aku membuntuti Bhale berjalan ke arah motornya.

"Aku bahkan tidak mengerti situasi apa ini"

"kau akan terus mengganggu pikiranku" Bhale memakai helm laku menaiki motor miliknya

"kenapa begitu ? aku kan tidak memintamu, aku bilang aku bisa sendiri" aku tidak bisa mengerti kenapa aku mengganggu pikirannya. Apa aku bersikap buruk sampai berakibat menghantui pikirannya. Apa dia merasa berhutang budi padaku. motor Bhale keluar dari tempat parkir dan keluar area kampus. Sampai di gerbang kampus dia berhenti. Bhale turun dari motor sedangkan aku masih duduk manis di boncengan motor trail miliknya. Bhale mendekati salah satu petugas keamanan kampus. Aku rasa dia mengatakan jika motorku ditinggal disini. Kenapa dia masih mau repot repot menolongku jika dia masih kesal padaku. aneh sekali, bukankah itu malah menyiksa dirinya sendiri.

"kenapa aku terus mengganggu pikiranmu ?" aku bertanya lagi ketika motor Bhale sudah berada di jalan raya. Apakah aku semenyebalkan itu sampai aku terus menghantui pikirannya. Kalau benar begitu aku jadi merasa bersalah. Aku tidak ingin mengganggunya hanya aku berharap dia bisa berteman dan bersikap lebih baik saja.

"jangan tanya karena aku juga tidak tahu"

Oke aku memutuskan untuk diam dari pada terus bertanya membuat suasana hatinya semakin buruk.

...........................................................................................

academic adventuresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang